UGM Tangani 12 Korban Kekerasan Seksual, Menteri PPPA Apresiasi Langkah Tegas

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Erlina Hidayati Sumardi.

Ia menegaskan, pihaknya mendukung langkah Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UGM yang telah mendampingi para korban serta melakukan penyelidikan terhadap saksi dan terlapor.

“Kita harus pastikan pemeriksaan berjalan sesuai peraturan dan hak-hak korban benar-benar terpenuhi. Apa yang dilakukan UGM dapat menjadi pembelajaran dan praktik baik bagi kampus-kampus lain,” katanya.

Arifah dan Rektor UGM juga membahas penguatan kerja sama melalui perpanjangan Nota Kesepahaman yang akan berakhir pada 26 Juli 2025.

Kerja sama ini terkait optimalisasi peran perguruan tinggi dalam pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, termasuk isu kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Salah satu bentuk kolaborasi yang akan dikembangkan adalah Kuliah Kerja Nyata (KKN) tematik dalam rangka menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak.

“Kami perlu bekerja sama dengan banyak pihak. Tangan kami tidak cukup kuat untuk menjangkau semua anak Indonesia, tidak cukup panjang untuk memeluk semua perempuan Indonesia. Tapi kami yakin, persoalan apa pun bisa diselesaikan bersama-sama,” tutur Menteri PPPA.

Menteri Arifah juga mengimbau masyarakat untuk tidak ragu melapor jika mengalami atau menyaksikan tindak kekerasan, termasuk kekerasan seksual.

Masyarakat dapat mengakses layanan melalui hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129.

“Jika melihat, mendengar, atau mengalami kekerasan, laporkan ke SAPA 129 lewat telepon di nomor 129 atau WhatsApp di 0811-129-129,” ujarnya.

Rektor UGM, Ova Emilia, menegaskan komitmen universitas dalam menciptakan lingkungan kampus yang aman dan nyaman dari kekerasan.

Menurutnya, kampus merupakan salah satu tempat paling rawan terjadinya kekerasan, sehingga membangun sistem perlindungan adalah sebuah keniscayaan.

“Perguruan tinggi adalah tempat kedua yang paling prevalen dalam kasus kekerasan. Oleh karena itu, menciptakan ekosistem yang kondusif menjadi penting. Di UGM, kita mulai membangun lingkungan yang membuat mahasiswa merasa aman, sehingga mereka berani melapor ketika mengalami atau menyaksikan kekerasan,” ujar Ova. (*)

 

Berita Terkini