TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Universitas Gadjah Mada (UGM) dinilai telah menangani kasus kekerasan seksual secara tepat dan adil terhadap belasan mahasiswi yang menjadi korban.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Erlina Hidayati Sumardi, menyatakan bahwa proses penanganan sudah sesuai prinsip perlindungan korban.
“Sudah ditangani dengan baik oleh pihak UGM. Jumlah korban sebanyak 12 orang dan satu saksi, semuanya telah ditangani secara internal. Dari 2023 hingga 2024, total korban berjumlah 12 orang,” ujar Erlina, Minggu (20/4/2025).
Ia menyebut para korban memilih untuk tidak melanjutkan perkara ke jalur hukum karena merasa telah mendapatkan keadilan melalui sanksi administratif yang dijatuhkan oleh pihak kampus.
“Para korban sebagian besar mahasiswi yang tidak ingin kuliahnya terganggu. UGM sudah menyampaikan bahwa jika mereka ingin menempuh jalur hukum, kampus siap mendampingi. Namun, setelah dijelaskan tahapan hukum dan dilakukan diskusi bersama, para korban memutuskan tidak melanjutkan karena merasa cukup dengan sanksi yang diberikan UGM,” jelasnya.
Sanksi terhadap pelaku dinilai adil, dan pendampingan psikologis juga telah diberikan kepada korban.
Erlina menegaskan bahwa UGM tidak menutup-nutupi kasus ini dan tetap menghargai keputusan serta kenyamanan korban.
“UGM sangat menghargai keputusan para korban. Mereka paham korban ingin hidupnya kembali tenang dan fokus menyelesaikan pendidikan, dan itu terus didampingi pihak kampus,” imbuh Erlina.
UGM juga disebut tengah menyusun kebijakan baru dalam bentuk buku saku tentang pencegahan kekerasan di lingkungan kampus.
Buku ini akan dibagikan kepada seluruh mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan. Sejumlah regulasi juga telah diterapkan, seperti larangan kegiatan akademik di rumah pribadi, yang selama ini dinilai menjadi salah satu modus terjadinya pelanggaran.
"Aturan lain sudah ada, misalnya proses akademi tidak boleh dilakukan di rumah dan sebagainya. Modusnya kebanyakan bisa dikatakan begitu modusnya bimbingan dilakukan dikediamannya. Pada prinsipnya para korban juga tidak ingin dikorek identitasnya. Kami pun juga tidak diberikan identitas mereka. Artinya pihak UGM melindungi dan kami menghargai para korban," ujarnya.
Apresiasi dari Pemerintah Pusat
Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, mengapresiasi langkah cepat UGM dalam menangani kasus ini.
Apresiasi disampaikan saat bersilaturahmi dengan Rektor UGM Ova Emilia di Kampus UGM, Sabtu (19/4/2025).
“Apresiasi kepada rektor dan civitas akademika UGM yang telah menjatuhkan sanksi administratif berupa pemberhentian pelaku dari jabatan dosen dan telah melayangkan surat kepada Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) untuk proses penjatuhan sanksi disiplin sebagai ASN,” ujar Arifah dilansir dari laman KemenPPPA RI.
Ia menegaskan, pihaknya mendukung langkah Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UGM yang telah mendampingi para korban serta melakukan penyelidikan terhadap saksi dan terlapor.
“Kita harus pastikan pemeriksaan berjalan sesuai peraturan dan hak-hak korban benar-benar terpenuhi. Apa yang dilakukan UGM dapat menjadi pembelajaran dan praktik baik bagi kampus-kampus lain,” katanya.
Arifah dan Rektor UGM juga membahas penguatan kerja sama melalui perpanjangan Nota Kesepahaman yang akan berakhir pada 26 Juli 2025.
Kerja sama ini terkait optimalisasi peran perguruan tinggi dalam pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, termasuk isu kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Salah satu bentuk kolaborasi yang akan dikembangkan adalah Kuliah Kerja Nyata (KKN) tematik dalam rangka menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Kami perlu bekerja sama dengan banyak pihak. Tangan kami tidak cukup kuat untuk menjangkau semua anak Indonesia, tidak cukup panjang untuk memeluk semua perempuan Indonesia. Tapi kami yakin, persoalan apa pun bisa diselesaikan bersama-sama,” tutur Menteri PPPA.
Menteri Arifah juga mengimbau masyarakat untuk tidak ragu melapor jika mengalami atau menyaksikan tindak kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Masyarakat dapat mengakses layanan melalui hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129.
“Jika melihat, mendengar, atau mengalami kekerasan, laporkan ke SAPA 129 lewat telepon di nomor 129 atau WhatsApp di 0811-129-129,” ujarnya.
Rektor UGM, Ova Emilia, menegaskan komitmen universitas dalam menciptakan lingkungan kampus yang aman dan nyaman dari kekerasan.
Menurutnya, kampus merupakan salah satu tempat paling rawan terjadinya kekerasan, sehingga membangun sistem perlindungan adalah sebuah keniscayaan.
“Perguruan tinggi adalah tempat kedua yang paling prevalen dalam kasus kekerasan. Oleh karena itu, menciptakan ekosistem yang kondusif menjadi penting. Di UGM, kita mulai membangun lingkungan yang membuat mahasiswa merasa aman, sehingga mereka berani melapor ketika mengalami atau menyaksikan kekerasan,” ujar Ova. (*)