Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Linda (20), masih ingat bagaimana rasanya menerima kabar diterima di Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM). Tangannya gemetar, matanya berair.
Ia, anak dari keluarga sederhana di Magetan, Jawa Timur, akan menjadi sarjana pertama di keluarganya.
Meski begitu, di balik haru itu, ada satu pertanyaan besar yang segera menyusul di benaknya: bagaimana membayar kuliah?
Jawabannya datang dalam bentuk beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIPK).
Sejak tahun pertama di tahun 2022, KIPK menjadi jembatan yang mengantarnya ke bangku kuliah, membantunya mengejar mimpi tanpa harus membebani orangtua.
“Ayah dan ibu cuma lulusan SMA. KIPK benar-benar menjadi gerbang utama bagi masyarakat menengah ke bawah untuk mengubah nasibnya melalui pendidikan,” ujar Linda kepada Tribun Jogja, Jumat (14/2/2025).
Namun, akhir-akhir ini, gerbang itu terasa goyah.
Khawatir
Isu efisiensi anggaran di Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendiktisaintek) mencuat, membawa kekhawatiran tentang kemungkinan pemotongan dana KIPK.
Linda tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya.
Bagi Linda, kabar soal efisiensi anggaran ini lebih dari sekadar berita. Itu adalah ketidakpastian yang nyata, yang bisa membuatnya terpaksa menghentikan kuliahnya.
“Kalau KIPK kena efisiensi, kemungkinan bakalan ambil cuti dulu. Sedih kalau beneran terjadi,” katanya.
Linda bukan satu-satunya. Di berbagai sudut kampus, di kolom-kolom komentar media sosial, banyak mahasiswa dengan kisah serupa: hidup bergantung pada KIPK.
Ada yang bilang bisa-bisa berhenti kuliah, ada pula yang mempertimbangkan utang untuk membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT).