Semua masih normal seperti biasa. Sampai Masda selesai mandi, memakai celana kemudian melangkah keluar dari sumur.
"Awalnya saya mendengar suara gemuruh. Tiba-tiba langsung besar [goncangan gempa]," ujar dia, mulai bercerita.
Bagi Masda, kenangan 13 tahun silam itu tak mungkin bisa dilupakan begitu saja.
Ia masih sangat hafal cerita bagaimana gempa tektonik dipagi itu merobohkan rumah-rumah dikampungnya.
Beruntung, saat kejadian naas itu Masda berada diarea sekitar sumur. Ruang terbuka. Ia sempat menyaksikan tembok beteng cukup tinggi, pembatas sumur, roboh didepan matanya.
"Saya berdiri mau jatuh. Dipenuhi asap putih karena guguran tembok yang roboh," tuturnya.
Tak lebih dari satu menit. Gempa berhenti. Masda melangkah melewati pintu belakang. Ia mendapati bagian dapur sebelah kanan rumahnya roboh.
"Dibagian depan rumah saya juga habis, roboh,"
Hari itu, pagi yang cerah kemudian berubah mencekam. Masda menyaksikan rumah-rumah warga roboh. Warga tertimpa material. Korban yang tertimpa bangunan itu kemudian dibawa ke rumah sakit ramai-ramai menggunakan truk.
Ada operasi truk dadakan yang bertugas mengangkuti para korban.
Tak berselang lama. Disaat kondisi gawat darurat. "Ada isu tsunami. Warga lari semua," kata dia.
Ia sendiri panik, ikut berlari bersama warga lainnya menuju pematang sawah.
Informasi saat itu simpang siur. Yang diketahui Masda dan warga lainnya akan datang tsunami seperti yang terjadi di Aceh tahun 2004 silam. Semua cemas.
Ditengah-tengah sawah itu, kabar mencekam itu kemudian dipatahkan. Di sawah, ada pengumuman tidak akan ada tsunami. Kata Masda. Warga berduyun-duyun kembali pulang.
Evakuasi terhadap korban dan sejumlah rumah kembali dilakukan. Warga bahu-membahu bergotong-royong. "Rumah saya dijadikan posko pengungsian sementara," ujar dia.