Belajar Memahami Falsafah Legowo

Penulis: nbi
Editor: tea
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pilpres 2014

Oleh : Rektor UII, Harsoyo

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Tidak mudah menguraikan makna kata 'legowo'. Legowo kira-kira berarti sikap bisa menerima keputusan, tidak dendam, tidak suudzon, dan tidak curiga. Legowo adalah menerima kondisi yang terjadi sebagai ketetapan Tuhan. Dibutuhkan penjelasan panjang untuk menjabarkan satu kata saja.

Tentu pelaksanaan legowo lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan. Tapi kalau bisa, maka segala perkara dan kejadian akan dianggap sebagai nikmat dan bukan kesusahan. Pandangan tersebut sangat berguna pada waktu-waktu seperti saat ini, di mana situasi politik bangsa semakin memanas imbas dari runcingnya rivalitas dua tokoh besar pada kontes Pemilu Pilpres 2014.
Perlu dipahami bersama bahwa dalam demokrasi, kalah menang adalah hal yang biasa. Pihak yang menang tidak perlu terlalu membanggakan diri, sementara mereka yang kalah tidak harus kecewa secara berlebihan. Tugas memimpin bukanlah perkara ringan, apalagi memimpin bangsa dan negara sebesar Indonesia.

Ada tuntutan untuk menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia yang jumlahnya begitu banyak. Luas wilayah negara ini juga luar biasa. Bayangkan, dari Aceh sampai Papua, terdapat perbedaan waktu sampai tiga jam. Terbang dari ujung barat ke ujung timur tidak cukup lima jam. Jika gambaran tersebut bisa ditangkap secara baik, niscaya tokoh-tokoh itu akan paham bahwa tujuan yang sebenarnya bukan untuk berkuasa, melainkan harus bisa menyejahterakan orang banyak.

Jadi, sebenarnya pihak yang kalah dalam Pilpres 2014, siapapun nanti keputusan Mahkamah Konstitusi, bisa mensyukuri hasil tersebut. Mereka tidak perlu memikul tanggung jawab yang begitu berat. Tapi tampaknya di Indonesia, orang yang kalah cenderung sulit menerima kenyataan tersebut.

Saya kira, akan sangat baik bila tokoh-tokoh berpengaruh, baik capres sendiri maupun tim suksesnya, bisa menciptakan suasana harmonis dan kondusif bagi para pendukung. Tiupkanlah hawa sejuk, sampaikan kepada para pendukung agar mempercayakan proses di jalur hukum lewat mekanisme pengadilan. Tidak perlu pengerahan massa apalagi sampai berakhir pada peristiwa kerusuhan.

Pemungutan suara dan pengumuman hasil Pilpres 2014 terjadi pada bulan Ramadan. Ramadan artinya membakar, membakar semua dosa dan kesalahan manusia. Setelah Ramadan, jatuh bulan Syawal. Syawal berarti meningkatkan. Ibadah serta segala ketaqwaan yang dibentuk selama Ramadan hendaknya terus ditingkatkan pada bulan-bulan setelahnya, dimulai dari Syawal.Jangan malah karena sudah tidak puasa, malah nafsu dipuaskan secara jor-joran.

Rasulullah Muhammad sendiri pernah bersabda, bahwa Perang Badar hanyalah perang yang kecil maknanya dibanding perang yang selanjutnya harus dihadapi manusia. Perang besar itu adalah perang menghadapi hawa nafsu. Manusia berhadapan dengan perang tersebut setiap hari. Jika bisa dimenangkan, Insyaallah bisa terhindarkan dari kerusuhan atau tindak destruktif lainnya.

Apapun hasil yang keluar dari MK nantinya merupakan hasil final. Saya harap semua pihak bisa menerimanya. Sebagai negarawan, kepentingan negara harus lebih diutamakan, bukan lagi kepentingan pribadi, partai, atau kelompoknya belaka. Perlu dipahami bahwa langkah yang diambil harus mengutamakan kepentingan rakyat, termasuk bagaimana menjauhkan masyarakat dari segala bentuk intimidasi.

Kerusuhan timbul karena kekecewaan yang diturutkan. Padahal jika direnungkan, bagi pihak yang kalah, masih ada kesempatan pada lima tahun lagi. Masih ada rentang waktu yang cukup untuk mempersiapkan langkah-langkah strategis untuk bisa sejahterakan masyarakat. Jika rakyat kecil sudah sejahtera, niscaya pengusaha juga akan ikut menjadi lebih makmur. Hal itu terkait daya beli yang meningkat. Di sisi lain, menyejahterakan kalangan pengusaha saja tidak bisa menjamin kesejahteraan masyarakat kecil.

Contoh sederhana, bagaimana pengusaha gorengan bisa meraup keuntungan lebih besar saat Ramadan. Tiap sore omset mereka meningkat. Harus dipikirkan cara agar hasil tersebut bisa dikembangkan di luar bulan Ramadan. Inilah yang menjadi harapa bersama semua orang.

Pada zaman kekhalifahan dulu, di masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, masyarakat hidup begitu berkecukupan. Masa kepemimpinan beliau tidak lama, hanya sekitar 2,5 sampai tiga tahun. Tapi pada masa itu, untuk membayra zakat pun sulit. Tidak ada orang yang kekurangan materi, hingga uang zakat pun masuk kepada pemerintah yang pada gilirannya akan digunakan untuk kemakmuran bersama juga.Pada situasi tersebut, terlihat bagaimana negara dalam kondisi aman dan tenteram.
Orang ingin mencuri dan merampok karena ingin harta. Kalau semua orang sudah makmur, maka tidak ada alasan untuk melakukannya. Secara umum, jika kesejahteraan terpenuhi, maka situasi yagn tidak kondusif seperti kerusuhan bisa dihindari. Semua jadi baik jika kebutuhan sandang, pangan, papan, dan kesejahteraan batin terpenuhi.

Selama beberapa waktu belakangan, bangsa dan negara kita dibuat jenuh oleh black campaign dan cara-cara curan gdemi menjegal lawan politik. Saya memandang langkah tersebut tidak sesuai dengan budaya kita sebagai bangsa Indonesia maupun sebagai umat Islam.

Perhatikan Pancasila. Sila pertama dikatakan jelas bagaimana rakyat Indonesia harus ber-Tuhan. Apapun agamanya, tidak ada yang mengajak bermusuhan dengan manusia lain. Kemudian mengutamakan hak-hak kemanusiaan. Ketiga, mengenai persatuan, yang bertolakbelakang dengan perceraian dan permusuhan.

Untuk menghadapi perbedaan pendapat, ada sila keempat yang menyebut mengenai permusyawaratan. Sayang, saat ini banyak masalah diselesaikan secara voting tanpa melalui proses musyawarah yang matang. Akibatnya, sering kita lihat adanya walk out di parlemen. Langkah itu berarti mengutamakan kepentingan sendiri. Terakhir, bagaimana keadilan sosial harus diperjuangkan bersama. Pemimpin harus memikirkan kesejahteraan bersama, bukan hanya keluarga dan golongannya saja.

Halaman
12

Berita Terkini