Makna Syukur Kemerdekaan dalam Islam: Tauhid, Taubat, dan Akhlak
langkah nyata untuk mensyukuri nikmat kemerdekaan menurut pandangan Islam
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Joko Widiyarso
TRIBUNJOGJA.COM - Nikmat kemerdekaan adalah karunia besar dari Allah yang tidak boleh disia-siakan.
Di tengah bangsa yang merdeka, kita bisa beribadah dengan leluasa, menuntut ilmu dengan tenang, dan membangun masa depan dengan penuh harapan.
Namun, nikmat ini bisa menjadi azab jika tidak disyukuri.
Berikut ini beberapa langkah nyata untuk mensyukuri nikmat kemerdekaan menurut pandangan Islam:
1. Mensyukuri dengan Menegakkan Tauhid dan Ibadah
Kemerdekaan sejati adalah ketika hati terlepas dari penghambaan kepada selain Allah.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Tujuan utama hidup manusia adalah beribadah kepada Allah.
Maka, kemerdekaan hakiki bukan hanya bebas dari penjajahan fisik, tetapi bebas dari perbudakan hawa nafsu, dunia, dan sesembahan selain Allah.
Bentuk syukur tertinggi atas kemerdekaan adalah menggunakan kebebasan ini untuk beribadah kepada Allah, jangan sampai kita lalai dan justru menggunakan kemerdekaan untuk bermaksiat.
Karena kemerdekaan sejatinya bukan hanya bebas dari penjajahan lahiriah, tetapi juga kesempatan untuk menunaikan ketaatan dengan lebih leluasa.
2. Bertaubat dan Meninggalkan Maksiat
Nikmat tak akan bertahan jika maksiat dibiarkan, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُزِيلُ النِّعَمَ، وَتُحِلُّ النِّقَمَ،
“Salah satu hukuman dari dosa adalah hilangnya nikmat dan datangnya bencana.”
Taubat adalah tanda kesadaran bahwa kita masih sering menyia-nyiakan nikmat Allah.
Kemerdekaan harus menjadi momentum untuk membersihkan diri dan masyarakat dari dosa yang tersembunyi maupun terang-terangan.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At Tahrim: 8)
Ulama besar seperti Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa taubat yang tulus itu mengandung empat unsur penting:
- Berhenti dari dosa seketika itu juga tidak menundanya lagi.
- Menyesali dosa yang telah dilakukan, dengan penyesalan yang lahir dari kesadaran akan kesalahan.
- Berjanji kepada diri sendiri untuk tidak mengulanginya di masa depan.
- Dan jika dosa itu menyangkut hak orang lain, maka wajib diselesaikan atau dikembalikan haknya.
Dengan kata lain, taubat yang sejati bukan hanya ucapan di lisan, tapi sikap total dalam hati, tindakan nyata dalam perbaikan diri, dan keberanian untuk bertanggung jawab.
3. Menjadi Muslim yang Menjalankan Syariat Islam dengan Benar
Kemerdekaan memberi ruang bagi kita untuk hidup sesuai tuntunan agama, di negeri ini, kita bebas untuk menegakkan salat, menutup aurat, mendidik anak dengan nilai Islam, dan berdakwah tanpa harus bersembunyi.
Maka, tidak ada alasan untuk tidak menjalani hidup sebagai Muslim yang taat.
Justru inilah saatnya menjadikan kemerdekaan sebagai peluang untuk menghidupkan syariat dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat.
Inilah bentuk syukur yang konkret dan berkelanjutan. Karena iman bukan hanya di hati, tapi juga harus nampak dalam tindakan nyata.
Namun kita juga tak menutup mata di tengah zaman yang penuh ujian iman, menjalani hidup sesuai syariat tidak selalu mudah.
Godaan dunia, tekanan sosial, bahkan cibiran terhadap ajaran Islam bisa datang dari berbagai arah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi isyarat tentang kondisi ini dalam sabdanya:
يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ
“Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi no. 2260. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Bayangkan menggenggam bara api perih, panas, dan menyakitkan.
Tapi ia tetap menggenggam, karena ia tahu itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dirinya.
4. Taat kepada Pemimpin dalam Perkara yang Makruf
Taat kepada pemimpin adalah bagian dari menjaga stabilitas negeri.
Dalam Islam, ketaatan kepada pemimpin selama tidak memerintahkan maksiat adalah bagian dari menjaga keamanan dan kemaslahatan umat.
Murid dari Imam Syafii, yaitu Imam Al-Muzani rahimahullah dalam kitab beliau “Syarhus Sunnah” berkata,
وَالطَّاعَةُ لِأُوْلِي الأَمْرِ فِيْمَا كَانَ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مَرْضِيًّا وَاجْتِنَابِ مَا كَانَ عِنْدَ اللهِ مُسْخِطًا
وَتَرْكُ الخُرُوْجِ عِنْدَ تَعَدِّيْهِمْ وَجَوْرِهِمْ وَالتَّوْبَةُ عِنْدَ اللهِ كَيْمَا يَعْطِفُ بِهِمْ عَلَى رَعِيَّتِهِمْ
“Taatlah kepada para pemimpin dalam hal-hal yang diridai oleh Allah ‘azza wa jalla, dan tinggalkan ketaatan jika mereka memerintahkan sesuatu yang dimurkai oleh Allah.
Jika para pemimpin berlaku zalim atau melampaui batas, janganlah memberontak.
Sebaliknya, bertaubatlah kepada Allah dan perbaiki diri, agar Allah melembutkan hati para pemimpin dan menjadikan mereka lebih sayang kepada rakyatnya.”
Sebagian orang saat itu merasa keberatan dengan pernyataan beliau tentang “pemimpin yang zalim”. Namun Ali menjelaskan maksudnya:
نَعَمْ، يُؤْمِنُ السَّبِيلَ، وَيُمَكِّنُ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلَوَاتِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ
“Benar. Karena bahkan dengan adanya pemimpin yang zalim, jalan-jalan bisa aman, masyarakat tetap bisa melaksanakan salat, dan pergi haji ke Baitullah dengan tenang.”
Perkataan ini diriwayatkan oleh Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya Mafātīḥ al-Ghayb (13:204), dan menjadi pelajaran besar bahwa keberadaan pemimpin, bagaimana pun keadaannya, jauh lebih baik daripada hidup tanpa pemerintahan yang sah.
Sebab, kekacauan dan kerusuhan justru akan lebih merusak tatanan masyarakat.
Imam Fakhruddin Ar-Razi juga menambahkan nasihat yang tak kalah penting: “Jika rakyat ingin terbebas dari penguasa yang zalim, maka hendaklah mereka terlebih dahulu meninggalkan kezaliman yang mereka lakukan sendiri.” (Tafsir At-Taḥrīr wa At-Tanwīr karya Ibnu ‘Āsyūr, 8:74)
Pesan ini menyadarkan kita bahwa keadilan tidak hanya dituntut dari atas (pemimpin), tetapi juga harus dimulai dari bawah dari masyarakat.
Ketika rakyat meninggalkan kezaliman, Allah akan memperbaiki keadaan penguasanya.
Tapi jika rakyat terus dalam maksiat dan kezaliman, jangan heran jika Allah memberi pemimpin yang menjadi cerminan mereka sendiri.
5. Mendoakan Pemimpin agar Diberi Hidayah dan Keadilan
Doa adalah senjata orang beriman. Jangan biarkan pemimpin berjalan sendiri tanpa kita iringi dengan doa agar mereka mampu memimpin dengan amanah.
Dari ‘Abdush Shomad bin Yazid Al Baghdadiy, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Fudhail bin ‘Iyadh berkata,
لَوْ أَنَّ لِي دَعْوَةً مُسْتَجَابَةً مَا صَيَّرْتُهَا إِلَّا فِي الْإِمَامِ
“Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, aku akan tujukan doa tersebut pada pemimpinku.”
Ada yang bertanya pada Fudhail, “Kenapa bisa begitu?” Ia menjawab, “Jika aku tujukan doa tersebut pada diriku saja, maka itu hanya bermanfaat untukku. Namun jika aku tujukan untuk pemimpinku, maka rakyat dan negara akan menjadi baik.” (Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim Al Ashfahaniy, 8: 77, Darul Ihya’ At Turots Al ‘Iroqiy)
6. Mendoakan Negeri-Negeri yang Belum Merdeka
Mensyukuri kemerdekaan bukan hanya dengan berpesta atau mengikuti upacara, tapi dengan menumbuhkan empati dan kepedulian terhadap mereka yang belum merasakan nikmat yang sama.
Karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah salah seorang dari kalian benar-benar beriman, sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari, no. 13 dan Muslim, no. 45)
Kalau kita mencintai keamanan, kita harus ikut peduli pada mereka yang kehilangan rumah dan keluarga.
Kalau kita mencintai ketenangan, kita tidak boleh tutup mata saat anak-anak Palestina kehilangan masa depannya.
Inilah wujud iman yang hidup iman yang tidak egois.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَيَدْخُلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِى يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ
“Barang siapa ingin dijauhkan dari neraka dan masuk surga, hendaknya ia mati dalam keadaan beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dan hendaknya ia memperlakukan manusia sebagaimana ia senang diperlakukan oleh mereka.” (HR. Muslim, no. 1844)
Membela Palestina adalah bentuk nyata dari ukhuwah Islamiyah, karena mereka adalah saudara seiman yang sedang tertindas.
Di sana juga terdapat Masjid Al-Aqsha, kiblat pertama dan salah satu dari tiga masjid suci yang dimuliakan dalam Islam.
Membantu mereka berarti menjaga kehormatan simbol-simbol agama dan tanah suci umat Islam. Islam memerintahkan kita untuk membela kaum yang lemah dan terzalimi.
Maka, membela Palestina adalah bagian dari iman, syukur atas kemerdekaan, dan tanggung jawab bersama umat Islam,
Ya Allah, tolonglah saudara-saudara kami di Palestina, jadilah penolong dan pelindung mereka.
7. Mengisi Kemerdekaan dengan Ilmu dan Karya
Syukur itu bukan hanya diam, tapi bergerak dan memberi manfaat.
Kemerdekaan bukan hanya soal bebas bicara, tapi juga bebas berkarya.
Jadikan setiap potensi yang Allah berikan sebagai kontribusi nyata untuk bangsa dan umat.
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ibn Hibban dalam al-Majruhin [2/1], al-Qudha‘i dalam Musnad al-Shihab no. 1234, dan al-Ṭabarani dalam al-Mu‘jam al-Awsaṭ no. 5787).
Hadits ini sangat tepat untuk mendasari bahwa mengisi kemerdekaan dengan ilmu dan karya yang bermanfaat adalah bentuk amal terbaik dan bentuk syukur yang nyata.
8. Menjaga Persatuan dan Tidak Memecah Belah Bangsa
Setan senang melihat umat Islam terpecah.
Salah satu nikmat besar pascakemerdekaan adalah persatuan. Jangan hancurkan dengan fanatisme golongan, politik, atau kepentingan pribadi.
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” (QS. Ali Imran: 103)
Sebab, nikmat kemerdekaan bisa hilang jika umat terpecah oleh fanatisme golongan, kebencian, atau bid’ah yang mengaburkan jalan kebenaran.
Maka, menjaga ukhuwah dan arah perjuangan umat adalah bagian penting dari rasa syukur yang sejati.
9. Menjaga Akhlak dan Nilai-Nilai Moral dalam Kehidupan Bermasyarakat
Membangun masyarakat yang beradab bukan cukup dengan merdeka secara politik, tetapi harus ditopang oleh akhlak yang kokoh.
Karena hanya dengan akhlak, kemerdekaan akan membawa berkah bukan kehancuran.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad no. 8729, dinilai sahih oleh Al-Albani)
10. Mengisi Hari Kemerdekaan dengan Aktivitas Bermanfaat
Jangan habiskan peringatan kemerdekaan hanya dengan lomba tanpa makna, apalagi lomba yang mengandung unsur perjudian.
Allah Ta’ala mengingatkan,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi (maysir), (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 90)
Dalam Islam, suatu aktivitas disebut judi (maysir) jika memenuhi empat syarat: (1) adanya dua pihak atau lebih yang saling bertaruh; (2) masing-masing mempertaruhkan harta atau barang bernilai; (3) terdapat pihak yang menang dan kalah di akhir permainan; (4) serta pihak yang kalah harus rela kehilangan hartanya tanpa ada timbal balik yang setara.
Maka, jika perlombaan dalam rangka hari kemerdekaan melibatkan taruhan uang atau barang berharga dengan hasil menang-kalah yang menyebabkan salah satu pihak kehilangan miliknya, hal itu termasuk bentuk perjudian yang diharamkan.
Sebaliknya, isi kemerdekaan dengan kegiatan yang menguatkan nilai kebersamaan, menambah ilmu, atau amal sosial yang bermanfaat bagi masyarakat.
(MG/Anggitya Trilaksono)
6 Dampak Buruk Maksiat bagi Hidup: Hati Gelap hingga Rezeki Terhalang |
![]() |
---|
Tata Cara dan Rukhsah Sholat Bagi Orang Sakit Sesuai Syariat Islam |
![]() |
---|
Uniknya Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda Kibarkan Bendera di Bawah Laut Berbalut Kostum Mermaid |
![]() |
---|
Dzikir Pagi Lengkap: Bacaan, Doa, dan Faedahnya Sesuai Sunnah |
![]() |
---|
Kisah Haru Kevin Silaban, Paskibra Sumut yang Tetap Bertugas di Hari Ayahnya Meninggal |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.