Cerita Kakek Darma Tersiksa Kenaikan PBB Kota Cirebon, Bisa Bayar tapi Tidak Bisa Makan
PBB merupakan pajak yang harus dibayar masyarakat atas kepemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan bumi dan/atau bangunan.
Penulis: Hari Susmayanti | Editor: Hari Susmayanti
TRIBUNJOGJA.COM, CIREBON - Tahun 2023 lalu, Darma Suryapranata (83), warga Kota Cirebon, Jawa Barat yang tinggal di Jalan Siliwangi tersebut membayar Pajak Bumi dan Bangunan sebesar Rp 6,2 juta.
Namun tagihan PBB pada 2024 melonjak dratis hingga Rp 65 juta.
PBB merupakan pajak yang harus dibayar masyarakat atas kepemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan bumi dan/atau bangunan.
PBB merupakan salah satu pendapatan daerah yang digunakan untuk biaya pembangunan dan pelayanan publik.
Bagi Darma, kenaikan itu sangat menyiksa dirinya.
Sebab, rumah yang ditinggalnya itu bukan tempat usaha, melainkan tempat tinggal.
Darma mengaku bisa membayar tagihan PBB itu, namun dampaknya keluarganya tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Kalau terdampak (kenaikan PBB) ya semua terdampak. Cuma saya terasa sekali naiknya, malah istilahnya gila-gilaan,” ujar Surya, duduk di ruang tamu dengan meja kayu tua dan tumpukan buku di sudut, Kamis (14/8/2025) sore dikutip dari Tribun Jabar.
Darma mengaku sudah pernah menyampaikan keluhan soal kenaikan PBB ini kepada Sekda Kota Cirebon saat melaksanakan halalbihalal beberapa waktu yang lalu.
Dalam kesempatan itu, dirinya menyampaikan kepada Sekda kalau kenaikan PBB membuat masyarakat menjadi resah.
“Saya bilang, ‘Pak hati-hati, masyarakat resah PBB-nya kok naik banyak’. Terus beliau jawab, ‘Oh ya nanti kita diskusikan’,” ucapnya.
Darma mengaku dirinya pernah diundang ke Balai Kota Cirebon.
Baca juga: Jokowi dan SBY Hadiri Sidang Tahunan MPR
Saat itu dia membawa sejumlah berkas.
Di kawasan Pengampon, ia melihat sendiri angka di Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
“Saya kaget, Rp 65 juta. Kalau dilihat dari tagihan 2023, kenaikannya 1.000 persen,” jelas dia.
"Saya protes untuk masyarakat semuanya. Banyak yang kaget melihat kenaikan begitu besar. Saya bilang, ‘tolong ini bisa diubah’."
"Tapi katanya enggak bisa, ini sudah ada Perda-nya (peraturan daerah, red). Saya bilang, ‘Undang-Undang Dasar 45 saja bisa diubah, masak ini enggak bisa’,” katanya, menggeleng pelan.
"Tahu-tahu keluar Perdanya. Kalau Rp65 juta saya mampu bayar, tapi saya enggak makan."
"Ini rumah tempat tinggal, bukan bisnis. Pajak sebesar itu untuk tempat tinggal sangat menyiksa,” ujarnya.
Menurut Darma, kenaikan PBB ini seharusnya mempertimbangkan kemampuan warga.
Jangan sampai kebijakan itu malah menjadi beban bagi masyarakat.
Dia pun meminta agar kebijakan itu direvisi sehingga PBB tidak menjadi beban bagi masyarakat.
“Kewajiban boleh ada, tapi jangan menjadi beban. Kalau beban, hidup tidak bisa harmonis."
"Silakan dihitung kembali supaya wajar. Rakyat mampu bayar, pemerintah dapat dana, jadi sama-sama win-win,” ucap Surya.
Terus bagaimana penjelasan Pemkot Cirebon?
Menyikapi keresahan masyarakat itu, Wali Kota Cirebon Effendi Edo mengatakan kenaikan PBB di wilayahnya tidak sampai 1.000 persen.
"Kalau kenaikan ada, tapi tidak sampai 1.000 persen," ujar Edo saat ditemui di Balai Kota, Kamis (14/8/2025).
Menurutnya, kenaikan PBB sudah ditetapkan sejak setahun yang lalu sebelum dirinya menjadi wali kota.
Dirinya pun sudah melakukan pembahasan secara internal terkait dengan kenaikan PBB ini.
Selain itu juga mencari solusi yang terbaik sehingga tidak memberatkan masyarakat.
"Mudah-mudahan dalam minggu ini kita sudah tahu dan formulasi yang kita buat itu sesuai dengan keinginan masyarakat. Artinya ada perubahan, InsyaAllah," ucapnya.
Menurut Edo, formulasi kenaikan PBB berasal dari Kementerian Dalam Negeri yang memberikan delapan opsi.
Opsi itu kemudian dipadukan oleh Pemerintah Kota Cirebon sehingga tarif yang berlaku bervariasi.
"Soal warga yang punya bukti PBB 2023 kemudian naik drastis di tahun berikutnya, monggo itu semuanya dari Depdagri."
"Itu kan ada delapan pilihan yang di-mix oleh pemerintah kota, jadi akan berbeda-beda," jelas dia.
Landasan hukum kebijakan ini adalah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 yang ditetapkan saat Kota Cirebon masih dipimpin Penjabat (Pj) Wali Kota.
Edo menyebut, desakan warga untuk mengubah perda tersebut harus melalui kajian mendalam.
"Sekarang saya sedang evaluasi itu bersama melakukan kajian-kajian juga. Kalau memang hasil evaluasi dan kajian menyatakan perlu diubah, ya tidak menutup kemungkinan," tutur dia.
"Saya terbuka sekali melakukan audiensi dengan masyarakat yang merasa terdampak," sambungnya.
Artikel ini sudah tayang di Tribun Jabar
Ini Wilayah yang Juga Naikan PBB Hingga Ratusan Persen, Ada Cirebon, Jombang Hingga Bone |
![]() |
---|
Akhiri Polemik, Bupati Pati Batalkan Kenaikan PBB-P2 Sebesar 250 Persen serta Minta Maaf ke Warga |
![]() |
---|
UPDATE Terbaru Data Korban Longsor Gunung Kuda Cirebon |
![]() |
---|
Pencarian Korban Longsor Gunung Kuda Cirebon, 6 Orang Masih Hilang, Hari Ini Gunakan Alat Khusus |
![]() |
---|
UPDATE Korban Longsor Gunung Kuda, 17 Ditemukan Meninggal, 8 dalam Pencarian |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.