Bapak-bapak di Bantul Sulap Rempah Jadi Produk Minuman Tradisional

Ide pembuatan minuman tradisional itu muncul dari adaya bapak-bapak jemaah Masjid Al Kautsar Bintaran Kulon, Kalurahan Srimulyo

TRIBUNJOGJA.COM/ Neti Istimewa Rukmana
OLAHAN REMPAH: Sejumlah bapak-bapak warga Kalurahan Srimulyo, Kapanewon Piyungan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, sedang mengolah produk rempah-rempah lokal, di Srimulyo, Rabu (13/8/2025). 

TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL - Sejumlah warga Kalurahan Srimulyo, Kapanewon Piyungan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, mengolah bahan rempah-rempah lokal menjadi produk minuman tradisional dengan label Rempah Sangaji. Salah satunya produk minuman jahe dengan kualitas premium.

Marketing Rempah Sangaji, Iki Tabah, mengatakan, ide pembuatan minuman tradisional itu muncul dari adaya bapak-bapak jemaah Masjid Al Kautsar Bintaran Kulon, Kalurahan Srimulyo, yang tidak bekerja alias nganggur. 

"Di lain sisi, Masjid Al Kautsar itu menyediakan kuliner bungah. Jadi, kami beli tanahnya untuk dimanfaatkan sebagai tempat kuliner untuk pemberdayaan ekonomi jemaah masjid itu. Lalu, untuk bapak-bapak yang enggak bisa berbisnis, kami ajak ke masjid," ucapnya, kepada awak media, Rabu (13/8/2025).

Disampaikannya, niat awal usaha itu muncul adalah untuk mengentaskan pengangguran di wilayah setempat. Namun, siapa sangka, produk tersebut ternyata dilirik oleh masyarakat luas sehingga jumlah produksinya terus meningkat dan melahirkan beberapa varian produk minuman tradisional.

"Jadi, awalnya itu hanya minuman jahe saja, tapi saat ini ada kopi rempah, wedang bajigur, kunir asem, beras kencur, sampai laris madu (minuman tradisional untuk anak-anak). Minuman yang kami bikin itu berbentuk bubuk, sehingga tinggal diseduh pakai air ketika ingin dikonsumsi," ucap dia.

Bahkan, per bulan pihaknya bisa mengantongi omzet sekitar Rp10 juta sampai Rp20 juta. Sebab, produk minuman itu dilirik oleh konsumen dari berbagai daerah, termasuk Lampung atau provinsi di bagian ujung selatan Pulau Sumatra.

Walau baru berjalan sekitar empat bulan terakhir, namun minuman itu banyak dilirik konsumen dikarenakan tidak menggunakan bahan pengawet dan seluruh produk yang dipergunakan 100 persen produk lokal.

"Saat ini, bahan yang digunakan didapatkan dari pasaran. Tapi, karena permintaan terus meningkat, maka kami akan menggunakan produk rempah lokal. Jadi, warga kami mulai menanam tanaman rempah yang hasilnya akan dimanfaatkan untuk membuat minuman premium ini," tuturnya.

Adapun produksi minuman tersebut berkisar di antara 50 kilogram sampai 100 kilogram per minggu. Secara total, bisa memproduksi sekitar 200 kilogram sampai 300 kilogram dalam sebulan.  

Lebih lanjut, Tabah menyampaikan bahwa ide pembuatan minuman tradisional itu muncul dari kecintaan warga Jawa untuk mengkonsumsi jamu atau minuman tradisional. Belum lagi, minuman tradisional Indonesia telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO.

"Dari situ, kami ingin melestarikan tradisi yang sudah ada di Indonesia. Dan kami mencoba memformulasikan minuman jamu ini menjadi minuman yang familiar dan enak dikosumsi oleh kalangan anak muda juga," terang Tabah.

Terkait harga jual, minuman berlebel Rempah Sangaji itu dinilai ramah dikantong. Masyarakat yang ingin mencoba minuman rempah itu cukup mengeluarkan uang sekitar Rp20 ribu sampai Rp33 ribu. Di mana, harga jual produk diberikan tergantung dengan variasi produk.

"Lain lagi kalau harga reseler. Yang reseller itu lebih murah, karena mereka kan mau menjual produk kami ke orang lain," ucap Tabah.

Tabah pun turut menjelaskan proses pembuatan minuman tradisional tersebut dimulai dari pemilihan bahan rempah yang bagus. Kemudian, rempah itu dipotong dan dicuci bersih.

"Jadi, kulit rempahnya itu tidak dibuang karena kami ingin mengambil sarinya. Setelah itu dimasukkan dalam blender sampai halus. Hasil dari blender itu kita taruh di tempat untuk memisahkan antara endapan dengan air rempah," jelasnya.

Setelah endapan dan air rempah terpisah, selanjutnya air rempah diambil. Untuk endapan tersebut tidak dipergunakan. Kemudian, air rempah direbus selama beberapa waktu atau sampai berubah menjadi kristal.

"Kalau sudah mengkristal nanti kami diamkan dan kami blender supaya menjadi bubuk. Jadi, semuanya dilakukan secara manual dan tradisional dan tidak menggunakan alat-alat khusus," tutup Tabah.(nei)

 

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved