Waspada Beras Oplosan, Ancaman Gizi dan Kesehatan di Balik Praktik Curang

Selain kehilangan nutrisi, Faurina mengingatkan bahwa beras oplosan berpotensi meningkatkan risiko penyakit kronis. 

KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG
Ilustrasi Beras 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Praktik peredaran beras oplosan yang semakin marak di Indonesia menuai kekhawatiran luas, bukan hanya karena merugikan konsumen secara ekonomi, tetapi juga karena dampak serius terhadap kesehatan masyarakat.

Hal ini disampaikan oleh Faurina Risca Fauzia, Dosen Gizi dari Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, yang menyoroti bahaya dari konsumsi beras yang telah dicampur atau dimanipulasi. 

“Selain bahaya kesehatan langsung akibat bahan kimia, konsumsi beras yang dicampur dan dimanipulasi juga memiliki dampak gizi yang perlu diperhatikan,” kata Faurina.

Menurutnya, pencampuran beras premium dengan jenis berkualitas rendah dapat menurunkan kandungan nutrisi penting seperti vitamin B1 yang sangat dibutuhkan tubuh. 

“Meskipun dampak ini mungkin tidak menyebabkan efek fatal secara langsung, konsumsi rutin dalam jangka panjang dapat menyebabkan defisit gizi kumulatif yang merugikan kesehatan masyarakat,” ujarnya. 

Selain kehilangan nutrisi, Faurina mengingatkan bahwa beras oplosan berpotensi meningkatkan risiko penyakit kronis. 

Studi menunjukkan bahwa praktik adulterasi atau pemalsuan pangan dapat memicu lonjakan gula darah, risiko diabetes, penambahan berat badan di area perut, obesitas, dan peningkatan kadar lipid darah yang memicu tekanan darah tinggi. 

“Praktik adulterasi pada dasarnya mengubah sifat alami makanan, sehingga memperburuk risiko kesehatan yang mungkin sudah ada dari konsumsi makanan berkualitas rendah atau junk food,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa kontaminan dalam beras, baik yang terjadi secara alami maupun akibat pencampuran, dapat berakumulasi dalam tubuh dan memperberat kerja organ vital. 

“Akumulasi ini akan memperberat kerja sistem detoksifikasi organ vital seperti hati dan ginjal, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan permanen pada organ-organ tersebut,” ucapnya. Salah satu kontaminan yang patut diwaspadai adalah arsenik. 

Baca juga: Babak Baru Beras Oplosan, Tiga Orang Ditetapkan jadi Tersangka

Tanaman padi (Oryza sativa L.) diketahui memiliki kemampuan tinggi dalam mengakumulasi arsenik, bahkan hingga 10 kali lebih banyak dibandingkan sereal lain seperti gandum.

Hal ini diperparah oleh cara penanaman padi yang terendam air, memudahkan pelarutan arsenik dalam tanah dan penyerapan ke dalam tanaman.

“Arsenik anorganik, bentuk yang lebih toksik, dapat masuk ke dalam beras melalui transporter silikon yang secara tidak sengaja mengangkut arsenit,” kata Faurina. 

Ia menambahkan bahwa beras menjadi salah satu sumber utama paparan arsenik dalam diet, terutama di kalangan masyarakat yang mengonsumsi beras dalam jumlah besar. 

“Paparan arsenik, bahkan pada kadar rendah, dapat menyebabkan mual, muntah, diare, detak jantung tidak teratur, dan kerusakan pembuluh darah. Pada kadar yang tinggi dan paparan jangka panjang, zat ini dapat meningkatkan risiko keracunan arsenik, diabetes tipe 2, hipertensi, gangguan kulit, kerusakan saraf, penyakit jantung, serta berbagai jenis kanker seperti kanker kulit, paru-paru, dan kandung kemih,” tegasnya.

Faurina juga menjelaskan sejumlah cara yang dapat dilakukan masyarakat untuk mengenali beras oplosan secara mandiri.

Deteksi pertama bisa dilakukan dari ciri visual, aroma, tekstur, dan rasa. 

Dari segi visual, masyarakat dapat mengamati warna butiran beras

“Beras oplosan sering menunjukkan warna yang tidak merata, di mana butiran putih cerah bercampur dengan yang kusam atau kekuningan. Beberapa juga tampak terlalu putih mengkilap, menyerupai plastik. Beras asli umumnya memiliki warna putih alami, tidak terlalu mengkilap,” ungkapnya. 

Selain itu, ukuran butiran beras juga bisa menjadi indikator. Beras oplosan biasanya mencampur bulir panjang-pendek atau besar-kecil dalam satu kemasan, berbeda dengan beras asli yang cenderung seragam, berbentuk gemuk, dan memiliki guratan alami. 

“Beras palsu atau sintetis tampak lebih ramping, mulus tanpa guratan, dan bening,” jelasnya. Tanda lain adalah adanya benda asing saat dicuci.

“Jika saat mencuci beras muncul serpihan plastik, serbuk putih, atau partikel lain yang tidak biasa, hal ini patut dicurigai sebagai indikasi beras oplosan atau palsu,” tambahnya.

Aroma juga menjadi salah satu aspek penting untuk mendeteksi keaslian beras. Menurut Faurina, beras oplosan mungkin mengeluarkan bau apek, bau kimiawi, bau sangit seperti plastik terbakar, atau bahkan tidak berbau sama sekali. 

“Beras asli umumnya memiliki aroma khas yang netral, sedikit harum, atau wangi pandan yang lembut,” ujarnya. 

Dari segi tekstur, beras oplosan sering terasa terlalu halus, licin, dan mengkilap seperti plastik saat disentuh, sedangkan beras asli memiliki permukaan yang lebih kasar. 

Ia menambahkan bahwa beras oplosan cenderung keras dan tidak mudah patah saat ditekan dengan kuku. 

“Jika beras cenderung menempel pada telapak tangan saat diremas dalam keadaan kering, ini bisa menjadi indikasi bahwa beras tersebut telah dicampur dengan pelicin bahan kimia,” tutur Faurina.

Beras oplosan juga dapat dikenali setelah dimasak. Nasi yang dihasilkan bisa terasa aneh, terlalu lembek, cepat basi, atau cepat mengeras dan sulit dicerna setelah dingin.

“Nasi tidak wajar ini merupakan salah satu tanda utama. Beras sintetis juga dapat mengeluarkan air saat dimasak, bukan menyerapnya seperti beras normal. Nasi dari beras asli akan menghasilkan tekstur yang lembut, pulen, manis, dan mudah dikunyah,” ujarnya. 

Faurina menyarankan beberapa tes tambahan seperti tes air dan tes bakar untuk memastikan. 

“Beras oplosan atau palsu cenderung mengapung saat direndam dalam air, sedangkan beras asli akan tenggelam karena berat jenisnya lebih tinggi. Air rendaman beras asli akan berubah menjadi keruh keputihan, sementara air rendaman beras palsu akan tetap jernih,” jelasnya. 

Sedangkan untuk tes bakar, “Beras palsu yang terbuat dari plastik akan meleleh atau mengeluarkan bau plastik terbakar saat dibakar,” pungkasnya.

Dengan berbagai potensi risiko yang ditimbulkan, peredaran beras oplosan bukan lagi sekadar persoalan kecurangan dagang, melainkan sudah masuk dalam ranah darurat kesehatan masyarakat. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved