Potret Mandeh Kini: Surga di Selatan Sumbar yang Belum Diberi Atap
Mandeh di pesisir selatan Sumatera Barat (Sumbar) terlalu indah untuk disebut terabaikan, tapi terlalu sepi untuk disebut siap.
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
“Ini kan jalan yang membelah bukit, bukan jalur datar. Jadi, bukit ini dibom dan bisa dilihat itu hasil pengebomannya kadang masih ada yang berceceran. Banyak tanjakan dan turunan curam, tikungan tajam, terus di kiri jurang, di kanan tebing,” ujarnya.
Di musim kering, tanah berbatu itu tampak tenang, tapi sekali hujan turun deras, dinding-dinding perbukitan mulai rapuh. Tak jarang longsor kecil menutup setengah badan jalan.
Pernah juga, katanya, ada longsor membuat lalu lintas lumpuh berjam-jam.
“Kalau sudah begitu, kita gak bisa apa-apa. Nunggu alat berat, itu pun datangnya gak selalu cepat,” kata Joni.
Ia bilang, sopir-sopir lokal sudah hafal titik-titik rawan, tapi tamu dari luar biasanya tak tahu dan panik kalau ada hambatan.
Transportasi Minim
Di Mandeh, kendaraan umum tak benar-benar ada.
Transportasi yang tersedia justru datang dari inisiatif warga, yakni mobil bak terbuka berusia hampir dua dekade yang dimodifikasi ala kadarnya, dengan terpal sebagai atap dan bangku kayu sebagai tempat duduk.
Penumpang duduk saling berhadapan, lutut bersinggungan, berpegangan pada tali atau nasib.
Jalanan berkelok menuntut perut bersabar dan tanjakan memaksa sopir menurunkan gigi serendah-rendahnya.
Di turunan curam, napas ditahan, oleh mesin, oleh sopir, dan oleh semua yang duduk di belakang.
Adi, seorang wisatawan, duduk di sudut bak mobil dengan wajah sedikit pucat.
Sesekali, ia menutup mata, mencoba melawan mual yang mulai naik sejak belasan tikungan lalu.
“Saya tidak tahu ini mau berhenti di mana. tidak kelihatan jalan depan, cuma bisa menebak dari suara mesin atau cara sopir mengerem,” katanya pelan sambil tertawa kecut.
Sesekali, asap solar tercium ke barisan penumpang, masuk lewat belakang yang terbuka.
Baunya menusuk, bercampur dengan hembusan angin laut yang mestinya segar.
Meski udara Mandeh masih tergolong bersih, aroma solar yang terus-menerus menyeruak membuat dada terasa sesak, kepala pening, dan perjalanan terasa lebih panjang dari seharusnya.
Beberapa penumpang memilih menutup hidung dengan tangan atau masker seadanya, tapi tak banyak yang bisa dilakukan selain menahan napas dan berharap angin segera berubah arah.
Bagi Adi, ini pengalaman pertama ke Mandeh dan langsung jadi catatan mental tentang akses yang belum ramah.
“Tempatnya bagus banget, tapi capeknya terasa sampai malam,” katanya.
Ia berharap ada transportasi yang lebih tertata, setidaknya cukup nyaman untuk membuat wisatawan ingin datang lagi.

Cari Identitas
Mandeh sedang belajar menjadi lebih dari sekadar pemandangan. Ia mencoba membangun identitas, memberi alasan agar orang tidak hanya datang untuk memotret, tapi juga membawa pulang sesuatu yang tumbuh dari tanah ini.
Salah satunya adalah teh karamuntiang, racikan dari daun asli kawasan Mandeh.
Dipelopori oleh mahasiswa, dijalankan oleh warga, teh ini jadi langkah kecil menuju mimpi yang lebih besar: menjadikan Mandeh bukan hanya tempat singgah, tapi tempat yang dikenang lewat rasa
Daun teh karamuntiang kecil, tumbuh bebas di pekarangan dan perbukitan sekitar.
Warga setempat biasa memanfaatkannya sebagai rempah-rempah dapur, untuk mengurangi pahit daun pepaya, atau menetralisir bau amis pada ikan.
“Teh karamuntiang itu banyak tumbuhannya, itu liar. Selama ini dimanfaatkan secara tradisional,” kata Nur Laini.
“Sejak anak-anak KKN UGM datang, kita mulai berpikir, ini bisa jadi produk. Saya sampai bisikkan ke Sekretaris Daerah (Sekda), ini harus kita olah besar-besaran. Potensinya besar, dan bahan bakunya masih banyak, itu hanya ada di daerah sekitar sini,” bebernya.
Gagasan untuk menjadikannya teh datang dari mahasiswa KKN UGM. Mereka melihat peluang dari kebiasaan lokal yang nyaris luput dari perhatian.
Teh karamuntiang tak sekadar warisan dapur, tapi sedang didorong menjadi identitas rasa khas Mandeh. Proses legalisasi pun mulai dilirik.
“Kita minta rekomendasi ke BPOM, agar ini tidak hanya jadi ide dan mati. Harapannya, ini bisa jadi pendapatan masyarakat dalam kelompok. Kalau mau cari teh karamuntiang, ya ke sini. Kita buka di outlet-outlet homestay,” lanjut Nur Laini.
Teh itu mungkin masih kecil langkahnya, tapi menyimpan pesan yang besar bahwa Mandeh juga bisa dibawa pulang dalam bentuk cangkir, bukan hanya dalam foto. (*)
Sensasi Menjelajah Ikon Eropa hingga Asia Tanpa Paspor di PICTNIQ Gunungkidul |
![]() |
---|
Dinas Pariwisata Bantul Kenalkan Potensi Wisata Desa Lewat Njelajah Mbantul Milang Kori 2025 |
![]() |
---|
4 Desa Wisata di Sleman Jogja, Pesona Pedesaan Asri dengan Pemandangan Gunung Merapi |
![]() |
---|
INFO Gempa 4,3M di Bonjol Pasaman Sumbar Hari Ini Pukul 18:27 WIB Pusat di Darat Kedalaman 5 KM |
![]() |
---|
11 Destinasi Wisata Keluarga di Jogja yang Wajib Dikunjungi Selain Pantai |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.