Benarkah Thrifting Ganggu Produsen Lokal? Begini Kata API DIY 

Bisnis pakaian bekas tersebut disebut merugikan produsen lokal dan nilai kerugiannya mencapai triliunan rupiah.

Dok. TRIBUNJOGJA.COM
ILUSTRASI - Suasana di bagian penjualan pakaian bekas atau ya g lebih dikenal dengan awul-awul di Jogja 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Christi Mahatma Wardhani

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) baru-baru menyoroti soal menjamurnya bisnis thrifting di Indonesia.

Bisnis pakaian bekas tersebut disebut merugikan produsen lokal dan nilai kerugiannya mencapai triliunan rupiah.

Namun bisnis thrifting justru dipandang berbeda oleh Wakil Ketua Bidang Organisasi Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) DIY, Timotius Apriyanto.

Menurut dia, thrifting adalah lifestyle atau gaya hidup.

Tidak hanya di Indonesia, di negara maju pun ada thrift store atau toko pakaian bekas.

“Munculnya thrifting itu keniscayaan, gaya hidup. Thrifting itu termasuk mendukung slow fashion, sustain (berkelanjutan), karena reduce, reuse, recycle (mengurangi, menggunakan kembali, mendaur ulang). Thrift itu kan akhirnya segmentasi pasarnya ke konsumen, tergantung pembelinya sendiri yang memutuskan,” katanya, Minggu (03/08/2025).

“Hanya memang legal formalnya yang harus ditegakkan, baik impor dan ekspor. Asalnya mestinya ditertibkan, bisa dari proses masuk yang legal. Terlepas dari asal barang, thrifting adalah sebuah gaya hidup. Di negara maju pun ada gaya hidup menggunakan barang bekas maupun barang murah,” sambungnya.

Ia justru khawatir pernyataan Kemenperin tersebut mengkambinghitamkan thrifting atas ketidakmampuan pemerintah meningkatkan daya saing produk di Indonesia.

Berdasarkan laporan World Competitiveness Ranking, daya saing Indonesia merosot dari peringkat 27 menjadi 40. 

Pemerintah mestinya melakukan deregulasi, debirokratisasi, dan tata niaga industri pertekstilan, maupun perdagangan dalam negeri dan luar negeri. Sehingga swasta lebih efisien, dan mampu meningkatkan produktivitas dan daya saing.

“Produktivitas bisa mengambil contoh UMKM di Sleman, bisa mencapai tingkat efisiensi yang bagus, baik dari sisi produksi maupun kanal pemasaran, sehingga produktivitasnya baik. Kalau produktivitasnya baik karena efisien, mereka punya daya saing,” ungkapnya.

“Industri pertekstilan atau industri pakaian jadi tanah air itu kemudian gulung tikar gara-gara thrifting kok saya kira tidak tepat. Kuncinya produktivitas dan daya saing, mereka (contoh UMKM di Sleman) tidak takut dengan thrifting, karena kompetitif,” lanjutnya.

Selain deregulasi dan debirokratisasi, pemerintah perlu mendorong Percepatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN), yang telah termaktub dalam Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2022.

“Kemudian percepatan sertifikasi TKDN dengan dana pemerintah, dari pada menghakimi thrifting. Kecil kok itu pengaruhnya (thrifting ke produsen lokal),” imbuhnya. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved