Pengamat UGM Buka Suara Soal Manuver PDIP Dukung Pemerintahan Prabowo Usai Hasto Dapat Amnesti

Manuver politik yang dilakukan oleh PDIP sebagai partai pemenang pemilu memberi legitimasi besar pada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto

Penulis: Almurfi Syofyan | Editor: Muhammad Fatoni
KOMPAS.com / IRFAN KAMIL
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Hasto Kristiyanto 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Dalam acara Bimbingan Teknis atau Bimtek PDIP di Bali, Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, memerintahkan para kadernya untuk mendukung pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Perintah Megawati agar kadernya mendukung pemerintahan Presiden Prabowo ini diungkapkan oleh Ketua DPP PDIP Deddy Yevri Sitorus, Kamis (31/7/2025) malam.

Pengamat Politik dair Universitas Gadjah Mada (UGM), Alfath Bagus Panuntun, menilai manuver politik yang dilakukan oleh PDIP sebagai partai pemenang pemilu memberi legitimasi besar pada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

"Secara politik, dukungan PDIP sebagai partai pemenang pemilu memberi legitimasi yang besar kepada pemerintahan Prabowo. Ini juga mampu memperluas basis koalisi pemerintah dan seolah memberi kesan stabilitas politik," ujarnya pada Tribun Jogja, Jumat (1/8/2025).

Dilanjutkan dosen FISIP UGM itu, dukungan ini memungkinkan konsolidasi kekuasaan eksekutif-legislatif secara hampir total.

Namun, dukungan ini bisa tidak sehat bagi demokrasi karena tidak adanya partai politik yang menjadi lawan politik setara.

Dukungan bagi pemerintahan Presiden Prabowo itu, lanjutnya, tidak bisa dilepaskan dari amnesti yang diterima oleh Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto.

"Dukungan politik PDIP pada pemerintahan Prabowo tidak datang tiba-tiba. Jelas ada kaitannya dengan konteks hukum yang menjerat Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto," jelasnya.

"Amnesti yang diterimanya bisa dibaca sebagai bagian dari kompromi politik. Ini bukan barang baru; namun ketika penegakan hukum ditukar dengan dukungan politik, maka yang terancam bukan sebatas supremasi hukum, melainkan juga etika politik," tegasnya.

Baca juga: Tom Lembong Dikabarkan Bakal Hirup Udara Bebas Siang Ini, Keppres Abolisi Segera Diterbitkan

Alfath pun menegaskan, dalam negara demokrasi bila semua partai berbondong-bondong masuk ke pemerintahan, tentu akan melemahkan oposisi dan menguatnya otoritarianisme.

"Jika seluruh partai merapat ke pemerintah, demokrasi Indonesia berada dalam bahaya besar: oposisi melemah, ruang deliberasi publik menyempit, dan potensi autoritarianisme meningkat," katanya.

Sejatinya, demokrasi membutuhkan adanya perdebatan politik.

Perbedaan pandangan menjadi sebuah keniscayaan sebagai sumber kontrol dan koreksi, memastikan pemerintah tidak menjalankan negara secara ugal-ugalan.

"Tanpa oposisi yang kuat, kekuasaan berisiko menjadi absolut, rakyat kehilangan representasi alternatif, dan kebijakan publik rentan ditentukan oleh elite tertutup, bukan kehendak rakyat," tukasnya.

Sebelumnya, Ketua DPP PDIP Deddy Yevri Sitorus, menyampaikan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri memerintahkan para kadernya untuk mendukung pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved