Pakar UGM Jelaskan Mitigasi Risiko atas Insiden Rinjani: Kaldera Curam, Tebing Tajam

Ketua Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada menilai bahwa Gunung Rinjani memiliki karakter topografi yang tidak bisa dianggap remeh.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Yoseph Hary W
KOMPAS.com
Ilustrasi Gunung Rinjani 

Tanpa pengendalian diri, keinginan mencapai puncak bisa berubah menjadi sikap nekat yang justru membawa risiko fatal.

“Saya selalu ingat quote dari Reinhold Messner, it’s not the mountain we conquer, but ourselves,” ucap Baiquni.

Lebih lanjut, Baiquni menjelaskan, dalam manajemen destinasi, Rinjani sebenarnya telah menerapkan sistem buka-tutup jalur berdasarkan musim.

Penutupan jalur saat musim hujan merupakan strategi konservasi sekaligus pencegahan kecelakaan akibat cuaca ekstrem.

Namun demikian, ia mencatat masih adanya wisatawan yang nekat melanggar aturan ini bahkan menyusup masuk jalur pendakian yang belum dibuka resmi.

“Biasanya Januari hingga Maret ditutup. Ini bagian dari strategi visitor management yang sangat penting, agar unsur alam bisa pulih dan pendaki bisa merencanakan kunjungan dengan aman,” ujarnya.

Teknologi, menurut Baiquni, telah membantu sistem navigasi dan informasi spasial, namun tidak menggantikan pentingnya pengalaman dan insting lapangan.

Penggunaan peta digital atau aplikasi cuaca perlu didukung dengan pelatihan dasar survival dan etika tim.

Ia mendorong agar pelatihan dasar seperti diklatsar, tali-temali, dan pembacaan medan dijadikan prasyarat pendakian, terutama bagi wisatawan asing yang belum familiar dengan ekosistem gunung Indonesia. “Beda alat, beda naluri. Kadang orang terlalu fokus pada puncak sampai lupa diri,” tuturnya.

Dalam menghadapi perubahan iklim, sistem mitigasi perlu lebih adaptif dan prediktif. Baiquni mengingatkan bahwa membaca tanda-tanda alam tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada pemahaman lokal dan intuisi alami.

Ia melihat pentingnya penggabungan antara sains modern dan kearifan lokal dalam mengelola risiko di wilayah pegunungan. “Kita diberi indera, nalar, dan nurani. Gunakan itu untuk membaca tanda-tanda alam, seperti awan, arah angin, dan pola kabut,” tegasnya.

Sebagai bagian dari refleksi, Baiquni menyampaikan lima pilar penting dalam membangun sistem mitigasi risiko wisata gunung. Pilar pertama adalah klasifikasi pendaki berdasarkan tingkat pengalaman dan pelatihan. Pengelola harus mampu membedakan mana pendaki pemula, mana yang sudah mengikuti pelatihan dasar, dan mana yang profesional.

“Kalau bisa, sistem ini dibuat transparan sejak awal. Kalau dia pemula, maka wajib pakai guide dan membawa perlengkapan standar. Kalau sudah berpengalaman pun, sebaiknya tetap tidak mendaki sendirian,” ujarnya.

Kedua, ia menekankan pentingnya pengendalian jumlah pengunjung yang masuk jalur pendakian.

Jalur-jalur ekstrem dengan medan sempit tidak boleh dilalui secara massal agar tidak menambah tekanan pada ekosistem maupun meningkatkan risiko kecelakaan. Pilar ketiga adalah pemetaan dan promosi destinasi vulkanoturisme alternatif.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved