Anggaran Pengelolaan Sampah di Kota Yogyakarta Menipis, Legislatif: Buka Kran Investasi

Membuka kran investasi dengan melibatkan swasta dalam proses pengelolaan sampah dianggap jadi solusi

Penulis: Azka Ramadhan | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUN JOGJA/AZKA RAMADHAN
MENGGUNUNG : Tumpukan sampah yang hampir memadati Depo Mandala Krida, Kota Yogyakarta, Selasa (15/7/25). 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kalangan legislatif menyoroti polemik sampah di Kota Yogyakarta yang kembali mencuat selepas libur panjang sekolah.

Eksekutif pun didorong membuka kran investasi dari swasta, karena kekuatan APBD yang ada sekarang tak memungkinkan untuk menyelesaikan problem persampahan.

Ketua DPRD Kota Yogyakarta, Wisnu Sabdono Putro, menyampaikan, dalam waktu dua pekan ke depan TPA Piyungan bakal ditutup total dan tidak menerima pembuangan lagi.

Sehingga, ketika tumpukan sampah di depo-depo besar di Kota Pelajar belum mampu tertangani, kondisinya dipastikan akan semakin parah.

"Sebenarnya ini mulai krisis sampah. Kalau tidak melibatkan swasta, ini akan kesulitan. Karena kondisi sekarang masih banyak sampah yang tertahan di depo," katanya, Jumat (18/7/2025).

Menurutnya, Pemkot Yogyakarta tidak boleh membiarkan fenomena tersebut, karena tidak lama lagi dampaknya berpotensi merugikan banyak pihak.

Sehingga, membuka kran investasi dengan melibatkan swasta dalam proses pengelolaan sampah dianggap jadi solusi untuk menanggulanginya.

"Karena untuk menambah mesin insinerator juga tidak mungkin ya, anggarannya terbatas. Jadi, yang bisa dilakukan hanya bekerja sama dengan swasta," ungkap politikus PDI Perjuangan itu.

Baca juga: Jogja Life Cycle Sulap Sampah Plastik Jadi Aneka Perabotan dan Kerajinan Bernilai Ekonomi

Wakil Ketua DPRD Kota Yogyakarta, Sinarbiyat Nujanat, menambahkan, selama ini eksekutif terlalu mengandalkan APBD untuk menyelesaikan problem persampahan.

Mulai dari pengadaan teknologi dan mesin-mesin pembakar sampah atau insinerator, hingga ratusan gerobag sampah untuk para transporter.

"Pak Wali juga sempat menyampaikan, bahwa pengadaan mesin sudah tidak dimungkinkan dengan situasi kemampuan keuangan daerah saat ini. Sehingga, harapannya peran swasta bisa ikut membantu," tandasnya.

Sementara, Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, mengakui, pemerintah harus memutar otak untuk menormalisasi kembali kondisi persampahan di wilayahnya.

Pasalnya, selain kuota pembuangan menuju TPA Piyungan yang semakin sempit, kapasitas yang dimiliki unit pengolah sampah di Kota Yogyakarta pun belum bisa menjangkau seluruhnya.

"Kalau kita tidak mempunyai jurus baru, untuk menuju normal lagi itu sulit. Makanya, kita harus mempunyai jurus baru," terang Hasto.

Bukan tanpa alasan, kerja sama dengan pihak swasta yang bergerak di sektor pengolahan sampah di luar daerah pun tidak dapat diandalkan kembali oleh Pemkot Yogyakarta.

Hasto menyebut, banyak swasta pemilik teknologi insinerator, atau mesin pembakar sampah yang akhir-akhir ini tiarap karena tersandung penertiban soal penyesuaian kaidah lingkungan.

"Sekarang kita mengalami masa kritis. Di masa kritis semacam ini, harus ada cara-cara. Dalam seminggu sampai sebulan ini, saya berpikir keras untui mencarikan caranya," ujarnya.

"Salah satu cara yang saya lakukan adalah dengan memilah sampah di depo. Hari ini, ada empat depo yang kita pakai sebagai pilot project pemilahan," tambah Wali Kota.

Meliputi, Depo THR di Jalan Brigjen Katamso, Depo Lapangan Karang, Depo Mandala Krida dan Depo Kotabaru di sisi selatan Kantor RRI Yogyakarta, yang menghimpun 21 kelurahan.

Hasto mengungkapkan, kondisi sejauh ini terdapat sekitar 60 ton sampah yang masih mengendap di sejumlah depo berukuran besar tersebut.

"Saya amati dulu, empat titik itu seperti apa permasalahannya. Saya lihat dulu, kita kerahkan pemilah dengan metode padat karya, seperti apa penurunan sampahnya," ucapnya. (*)

 

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved