ISRA 2025 di Yogyakarta Dorong Integrasi ESG dan Pengukuran Dampak Sosial lewat Platform Digital

Tema tersebut menjadi seruan bagi seluruh elemen masyarakat untuk berkolaborasi mewujudkan masa depan yang berkelanjutan,

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO
ISRA 2025: Sesi “Enabling ESG: Tools, Data, and Digital Solution” dalam rangkaian ISRA 2025 di The Alana Hotel & Convention Yogyakarta, Kamis (10/7/2025). Sesi ini membahas pemanfaatan teknologi dan solusi digital untuk mendukung implementasi ESG secara efektif. 

Iman juga menjelaskan bahwa ESG berbeda dari CSR. Jika CSR cenderung off-budget, ESG adalah on-budget—dialokasikan sejak awal strategi bisnis. Ia menekankan bahwa komitmen yang serius hanya bisa dibuktikan lewat struktur anggaran dan kebijakan internal.

“ESG butuh investasi, karena itu dampaknya baru terasa dalam jangka panjang. Tapi riset menunjukkan, ESG menurunkan cost of capital, meningkatkan kinerja operasional, bahkan berpengaruh positif terhadap harga saham,” ungkapnya.

Menurut Iman, tren investasi global juga menunjukkan pergeseran signifikan. Kini banyak investor mengutamakan proyek dengan impact, bukan sekadar return finansial. Bahkan, survei konsultan global menunjukkan 1 dari 3 pelamar kerja mempertimbangkan komitmen keberlanjutan perusahaan sebelum melamar.

“Kalau perusahaan tidak punya agenda ESG yang jelas, mereka bisa kehilangan sepertiga talenta terbaik. Ini alarm keras, terutama bagi perusahaan kecil dan menengah,” tambahnya.

Implementasi ESG di Indonesia dinilai masih dangkal. Berdasarkan data yang dihimpun tim riset Prof. Iman Harymawan dari 95 perusahaan, hanya 31 persen yang telah memiliki kerangka kerja (framework) ESG. Dari jumlah tersebut, hanya 18 persen yang memiliki metode atau metrik untuk mengukur kinerja keberlanjutan secara sistematis. Lebih rendah lagi, hanya 10 persen perusahaan yang telah menyusun roadmap ESG sebagai panduan strategis jangka panjang.

"Temuan ini menunjukkan bahwa mayoritas perusahaan di Indonesia masih berada pada tahap awal atau sebatas memenuhi kepatuhan regulatif, belum menjadikan ESG sebagai bagian integral dari strategi bisnis mereka," ujarnya.

Iman juga mengkritik lambannya pembaruan regulasi ESG di Indonesia. Terakhir dilakukan pada 2021 dan rencana berikutnya baru dijadwalkan 2026. Untuk itu, ia mendorong sektor swasta agar tidak menunggu dan memulai voluntary adoption.

Iman mengajak semua pihak merenung: kontribusi nyata apa yang bisa kita berikan dalam usia hidup yang terbatas?

“What is the real impact dari ESG yang kita lakukan? Usia kita bisa saja cuma 60–70 tahun. Tapi keberlanjutan adalah warisan. Kita harus mulai dari sekarang.”

Ukur Dampak Sosial, Dorong Transparansi
Di forum yang sama, perwakilan Impact Meter, Dyah Putri Utami, juga memaparkan pentingnya mengukur dampak dari investasi sosial. Ia memperkenalkan platform digital Impact Meter, yang dirancang untuk membantu organisasi mengukur keberhasilan program CSR dan pemberdayaan masyarakat secara lebih sistematis.

“Kita sering melaporkan berapa miliar dana CSR yang dikeluarkan. Tapi lupa menyampaikan dampaknya. Padahal itu justru yang terpenting,” ujar Dyah.

Impact Meter menggunakan kerangka lima tahap dalam mengukur dampak: Input (sumber daya), Activity (kegiatan), Output (hasil langsung), Outcome (perubahan jangka menengah), dan Impact (perubahan jangka panjang).

“Kalau program belum sampai tahap impact, artinya perjalanan investasinya belum selesai,” tegas Dyah.

Selain meningkatkan akuntabilitas, pengukuran juga penting sebagai bahan pembelajaran. Dyah menyayangkan masih minimnya perusahaan yang berani mengakui kegagalan program sosial mereka.

“Justru dari kegagalan, kita bisa belajar. Tapi kalau kita salah mengidentifikasi masalahnya, maka solusi yang kita pilih juga akan salah,” jelasnya. (HAN)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved