ISRA 2025 di Yogyakarta Dorong Integrasi ESG dan Pengukuran Dampak Sosial lewat Platform Digital

Tema tersebut menjadi seruan bagi seluruh elemen masyarakat untuk berkolaborasi mewujudkan masa depan yang berkelanjutan,

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO
ISRA 2025: Sesi “Enabling ESG: Tools, Data, and Digital Solution” dalam rangkaian ISRA 2025 di The Alana Hotel & Convention Yogyakarta, Kamis (10/7/2025). Sesi ini membahas pemanfaatan teknologi dan solusi digital untuk mendukung implementasi ESG secara efektif. 

TRIBUNJOGJA.COM- Indonesia Social Responsibility Award (ISRA) kembali digelar untuk ketiga kalinya sejak diluncurkan pada 22 Juni 2023. Ajang penghargaan bagi pelaku bisnis ini akan diselenggarakan di The Alana Hotel & Convention Yogyakarta, Kamis (10/7/2025), mengusung tema “Driving Impact, Building a Sustainable Future”.

Tema tersebut menjadi seruan bagi seluruh elemen masyarakat untuk berkolaborasi mewujudkan masa depan yang berkelanjutan, menekankan pentingnya sinergi antara korporasi, akademisi, dan komunitas. ISRA 2025 diinisiasi sebagai upaya mengapresiasi komitmen perusahaan dalam menerapkan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) serta mendorong terciptanya dampak positif yang terukur bagi masyarakat dan lingkungan.

Ketua Penyelenggara ISRA 2025, Titis Puspita Dewi menjelaskan, rangkaian acara ISRA 2025 dirancang untuk mendorong dialog, pertukaran pengetahuan, dan apresiasi terhadap praktik keberlanjutan lintas sektor. Acara ini mencakup Panel Discussion yang terbagi ke dalam tiga kelas paralel.

Sesi pertama bertajuk "Sustainability Leadership: Aligning Business Purpose with Sustainable Development" membahas pentingnya kepemimpinan visioner dan pembentukan budaya organisasi dalam mentransformasi bisnis ke arah yang lebih berkelanjutan.

Sesi kedua, "Enabling ESG: Tools, Data, and Digital Solution", mengeksplorasi penggunaan teknologi, sistem pelaporan, dan solusi digital yang mendukung penerapan ESG secara efektif. Adapun sesi ketiga, "Delivering Sustainability: Optimizing Impact", mengulas strategi penguatan dampak program keberlanjutan dan bagaimana metode pengukurannya dapat diterapkan secara praktis.

Selain itu, terdapat Conference Session sebagai forum pemaparan artikel ilmiah dan inisiatif praktis dari akademisi, perusahaan, pemerintah, hingga masyarakat umum. Tema yang diangkat dalam sesi ini meliputi Social Innovation for Sustainable Communities, The Path to Sustainable Impact, dan Sustainable Development and the Future of Ecosystem Services.

"Puncak acara ISRA 2025 adalah Awarding Night, yang memberikan penghargaan kepada perusahaan-perusahaan yang berhasil mengintegrasikan prinsip ESG dalam operasional mereka. Terdapat tujuh kategori utama, yaitu Economic Empowerment, Education, Gender Equality & Social Inclusion, Health Quality Improvement, dan Biodiversity Conservation. Selain itu, ada dua kategori spesial, yakni CSR Video Documentation dan Sustainability Reporting, yang menyoroti praktik komunikasi dan pelaporan keberlanjutan secara kreatif dan transparan," jelasnya.

Lebih lanjut Titis menyampaikan bahwa ESG kini bukan sekadar tren sesaat, melainkan elemen integral strategi bisnis yang meningkatkan daya saing, ketahanan perusahaan, serta menciptakan nilai keberlanjutan bagi masyarakat dan lingkungan.

"ISRA 2025 diikuti oleh mahasiswa, akademisi, praktisi bisnis, dan masyarakat umum yang peduli terhadap keberlanjutan di Indonesia. Penyelenggara berharap acara ini menjadi ruang kolaborasi inklusif untuk memperkuat praktik bisnis yang etis, transparan, dan berorientasi pada masa depan," ujar dia.

Dalam sesi pemaparan, Prof. Iman Harymawan, SE, MBA, PhD., Guru Besar Akuntansi Keberlanjutan dan Tata Kelola Universitas Airlangga, menekankan bahwa ESG (Environmental, Social, Governance) tidak lagi bisa dipandang sebagai kewajiban formalitas. Menurutnya, ESG adalah fondasi penting untuk membangun bisnis yang tangguh, relevan, dan berdampak dalam jangka panjang.

“Jika sebelumnya tujuan utama bisnis hanyalah meraih profit, kini bisnis juga harus memperhatikan aspek people dan planet. ESG merupakan wujud konkret dari prinsip business with purpose,” ujar Iman.

Iman menyatakan bahwa keberlanjutan bukan soal konsep yang rumit. Ia mengutip definisi dasar dari banyak peneliti, yakni the ability to sustain—bukan hanya untuk perusahaan, tapi juga untuk ekosistem. Ia mengajak peserta merefleksikan hal sederhana, seperti apakah kita sudah melakukan carbon offset pribadi atau sekadar mengurangi sampah di rumah.

“ESG itu ada di sekitar kita. Di rumah kita ada sampah, kita pakai listrik, AC, handphone. Sudahkah itu diimbangi dengan perilaku berkelanjutan?” tegasnya.

Salah satu temuan riset yang tengah ia lakukan menunjukkan bahwa meskipun banyak institusi sudah berinvestasi di green building, perilaku hijau (green behavior) belum mengikuti. Inilah yang menurutnya menjadi gap terbesar dalam penerapan ESG di Indonesia.

“Regulasi sudah berubah, tapi mindset-nya belum. Ini yang perlu dikejar, terutama dari para pemimpin bisnis,” katanya.

Iman juga menjelaskan bahwa ESG berbeda dari CSR. Jika CSR cenderung off-budget, ESG adalah on-budget—dialokasikan sejak awal strategi bisnis. Ia menekankan bahwa komitmen yang serius hanya bisa dibuktikan lewat struktur anggaran dan kebijakan internal.

“ESG butuh investasi, karena itu dampaknya baru terasa dalam jangka panjang. Tapi riset menunjukkan, ESG menurunkan cost of capital, meningkatkan kinerja operasional, bahkan berpengaruh positif terhadap harga saham,” ungkapnya.

Menurut Iman, tren investasi global juga menunjukkan pergeseran signifikan. Kini banyak investor mengutamakan proyek dengan impact, bukan sekadar return finansial. Bahkan, survei konsultan global menunjukkan 1 dari 3 pelamar kerja mempertimbangkan komitmen keberlanjutan perusahaan sebelum melamar.

“Kalau perusahaan tidak punya agenda ESG yang jelas, mereka bisa kehilangan sepertiga talenta terbaik. Ini alarm keras, terutama bagi perusahaan kecil dan menengah,” tambahnya.

Implementasi ESG di Indonesia dinilai masih dangkal. Berdasarkan data yang dihimpun tim riset Prof. Iman Harymawan dari 95 perusahaan, hanya 31 persen yang telah memiliki kerangka kerja (framework) ESG. Dari jumlah tersebut, hanya 18 persen yang memiliki metode atau metrik untuk mengukur kinerja keberlanjutan secara sistematis. Lebih rendah lagi, hanya 10 persen perusahaan yang telah menyusun roadmap ESG sebagai panduan strategis jangka panjang.

"Temuan ini menunjukkan bahwa mayoritas perusahaan di Indonesia masih berada pada tahap awal atau sebatas memenuhi kepatuhan regulatif, belum menjadikan ESG sebagai bagian integral dari strategi bisnis mereka," ujarnya.

Iman juga mengkritik lambannya pembaruan regulasi ESG di Indonesia. Terakhir dilakukan pada 2021 dan rencana berikutnya baru dijadwalkan 2026. Untuk itu, ia mendorong sektor swasta agar tidak menunggu dan memulai voluntary adoption.

Iman mengajak semua pihak merenung: kontribusi nyata apa yang bisa kita berikan dalam usia hidup yang terbatas?

“What is the real impact dari ESG yang kita lakukan? Usia kita bisa saja cuma 60–70 tahun. Tapi keberlanjutan adalah warisan. Kita harus mulai dari sekarang.”

Ukur Dampak Sosial, Dorong Transparansi
Di forum yang sama, perwakilan Impact Meter, Dyah Putri Utami, juga memaparkan pentingnya mengukur dampak dari investasi sosial. Ia memperkenalkan platform digital Impact Meter, yang dirancang untuk membantu organisasi mengukur keberhasilan program CSR dan pemberdayaan masyarakat secara lebih sistematis.

“Kita sering melaporkan berapa miliar dana CSR yang dikeluarkan. Tapi lupa menyampaikan dampaknya. Padahal itu justru yang terpenting,” ujar Dyah.

Impact Meter menggunakan kerangka lima tahap dalam mengukur dampak: Input (sumber daya), Activity (kegiatan), Output (hasil langsung), Outcome (perubahan jangka menengah), dan Impact (perubahan jangka panjang).

“Kalau program belum sampai tahap impact, artinya perjalanan investasinya belum selesai,” tegas Dyah.

Selain meningkatkan akuntabilitas, pengukuran juga penting sebagai bahan pembelajaran. Dyah menyayangkan masih minimnya perusahaan yang berani mengakui kegagalan program sosial mereka.

“Justru dari kegagalan, kita bisa belajar. Tapi kalau kita salah mengidentifikasi masalahnya, maka solusi yang kita pilih juga akan salah,” jelasnya. (HAN)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved