Pengamat Ekonomi Energi UGM Ungkap Dampak Perang Israel-Iran bagi Perekonomian Indonesia

Ia menyebut pemerintah dihadapkan pada dilema dalam penetapan harga BBM di dalam negeri.

Dok UGM
DAMPAK PERANG: Foto dok ilustrasi. Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Fahmy Radhi, MBA. Ia angkat bicara soal dampak perang Israel dan Iran. 

Laporan Reporter Tribun Jogja Christi Mahatma Wardhani

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA- Pengamat Ekonomi Energi UGM, Fahmy Radhi menyebut perang Israel-Iran dapat memengaruhi perekonomian Indonesia. Menurut dia, jika eskalasi konflik meluas, harga minyak dunia  akan melambung bahkan diperkirakan mencapai di atas US$ 100 per barel.

"Serangan hari pertama Israel terhadap Iran telah menaikkan harga minyak dunia yang signifikan. Pada 13 Juni 2025, harga minyak mentah Brent meroket hingga 13 persen menjadi US$ 78,50 per barel, kenaikan tertinggi sejak Januari 2025. Sebagai net importer, kenaikan harga minyak dunia sudah pasti akan berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia," katanya, Selasa (17/06/2025).

Ia menyebut pemerintah dihadapkan pada dilema dalam penetapan harga BBM di dalam negeri. Pasalnya, jika harga BBM subsidi tidak dinaikkan, beban APBN akan membengkak. Di samping itu kenaikan harga minyak dunia akan semakin menguras devisa untuk membiayai impor BBM.

"Ujung-ujungnya makin memperlemah kurs rupiah terhadap dollar AS, yang sempat menembus Rp. 17.000 per dollar AS," sambungnya.

Di sisi lain, jika harga BBM subsidi dinaikkan, dipastikan akan memicu inflasi. Dampaknya harga-harga kebutuhan pokok akan naik, praktis menurunkan daya beli rakyat, serta laju pertumbuhan ekonomi melambat.

Dengan kondisi ketidakpastian ini, pemerintah jngan memberikan harapan palsu kepada rakyat dengan memberikan pernyataan perang Israel-Iran tidak berdampak pada perekonomian Indonesia, seperti yang dikemukakan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.

Ia menilai pemerintah seharusnya realistis dan mengantisipasi penetapan harga BBM Subsidi berdasarkan indikator terukur.

"Kalau harga minyak dunia masih di bawah US$100 per barel, harga BBM Subsidi tidak perlu dinaikan. Namun jika di atas US$100 per barel, pemerintah tidak punya pilihan lain, kecuali menaikkan harga BBM Subsidi, agar beban APBN untuk subsidi tidak memberatkan," imbuhnya. (maw)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved