Pakar UMY Desak Pemerintah Ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control WHO
Keterlambatan Indonesia dalam meratifikasi FCTC membuat arah kebijakan tembakau nasional berjalan setengah hati.
Penulis: Christi Mahatma Wardhani | Editor: Yoseph Hary W
Laporan Reporter Tribun Jogja Christi Mahatma Wardhani
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pakar Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dianita Sugiyo, S.Kep., Ns., MHID menyebut cukai rokok di Indonesia masih di bawah rekomendasi World Health Organization (WHO).
Ia mengatakan porsi cukai terhadap harga jual di Indonesia sekitar 63,5 persen, sedangkan rekomendasi dari WHO sebesar 75 persen. Artinya porsi cukai rokok di Indonesia masih di bawah rekomendasi WHO.
"Beberapa negara seperti Australia dan Finlandia sudah di atas 80 persen. Jadi kalau Menteri Keuangan mengatakan cukai kita sudah tinggi, itu keliru. Kita justru termasuk yang paling rendah di kawasan. Dan perbedaan ini mencerminkan seberapa serius suatu negara menempatkan kesehatan rakyat di atas kepentingan industri,” katanya, Selasa (14/10/2025).
Berdasarkan data Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021, prevalensi perokok di Indonesia mencapai 33,5 persen, dengan kematian akibat rokok diperkirakan mencapai 290 ribu jiwa per tahun. Angka ini mencerminkan besarnya dampak sosial dan ekonomi dari konsumsi tembakau terhadap negara.
Kebijakan pemerintah yang menahan kenaikan cukai rokok dinilai memperparah situasi. Menurut dia, negara mestinya hadir dengan kebijakan yang berpihak pada kesehatan rakyat, bukan pada industri.
Selain memperkuat kebijakan fiskal melalui kenaikan cukai, pihaknya juga Indonesia meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), yang merupakan konvensi pengendalian tembakau oleh WHO dan telah diikuti oleh lebih dari 180 negara di dunia.
Keterlambatan Indonesia dalam meratifikasi FCTC membuat arah kebijakan tembakau nasional berjalan setengah hati. Padahal, konvensi tersebut tidak hanya berbicara soal cukai, tetapi juga tentang sistem perlindungan menyeluruh terhadap masyarakat dari paparan tembakau, termasuk pengaturan iklan, sponsor, dan pelabelan peringatan kesehatan.
“Kita ini sudah terlalu lama menunda. Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang belum meratifikasi FCTC. Akibatnya, setiap kali bicara soal pengendalian tembakau, kita hanya sibuk di ranah cukai, padahal masalahnya jauh lebih luas,” terangnya.
Ia menambahkan dengan meratifikasi FCTC, Indonesia tidak hanya akan memperkuat kredibilitasnya di mata dunia, tetapi juga menunjukkan keseriusan dalam mencapai target Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya tujuan nomor tiga tentang kesehatan dan kesejahteraan.
“Kalau pemerintah terus menunda, dampaknya akan panjang. Kita akan kehilangan generasi produktif karena penyakit yang sebenarnya bisa dicegah. Kalau kebijakan seperti ini terus dibiarkan, visi Indonesia Emas 2045 hanya akan jadi slogan. Alih-alih Indonesia emas, yang ada malah Indonesia lemas karena rakyatnya sakit tapi rokoknya tetap murah,” imbuhnya. (maw)
Pakar UMY Sebut Stagnasi Cukai Rokok Ancam Efisiensi Ekonomi Nasional serta Kesehatan Publik |
![]() |
---|
Pakar UMY Sebut Kebijakan Campuran 10 Persen Etanol pada Bensin Dorong Pemanfaatan Energi Terbarukan |
![]() |
---|
Serikat Pekerja Rokok DIY Apresiasi DPRD Kulon Progo Terkait Pembahasan Perda KTR |
![]() |
---|
Taru Martani Yogyakarta Sambut Baik Keputusan Pemerintah Tak Naikkan Tarif Cukai Rokok |
![]() |
---|
UMY Posisi Kedua Nasional PTS Versi QS Sustainability Ranking dari 1.100 Kampus |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.