Pakar UGM Jelaskan Duduk Perkara Polemik Empat Pulau di Aceh dan Sumatera Utara

Konflik Aceh-Sumut berawal dari proses pendataan geografis Indonesia oleh Tim Nasional era presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2008.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Yoseph Hary W
TRIBUNJOGJA/Ardhike Indah
POLEMIK: Pakar Ilmu Geodesi Universitas Gadjah Mada (UGM), I Made Andi Arsana Ph.D menjelaskan tentang duduk perkara polemik empat pulau di Aceh dan Sumatera Utara kepada wartawan di UGM, Selasa (17/6/2025) 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pakar Ilmu Geodesi Universitas Gadjah Mada (UGM), I Made Andi Arsana Ph.D menjelaskan tentang duduk perkara polemik empat pulau di Aceh dan Sumatera Utara.

Dijelaskan Andi, konflik Aceh-Sumut berawal dari proses pendataan geografis Indonesia oleh Tim Nasional era presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2008.

Pada saat itu, Tim Nasional ditugaskan pemerintah untuk membuat daftar laporan administrasi mengenai jumlah pulau di Indonesia sebagai laporan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Prosedur ini dilakukan dengan cara pemerintah tingkat provinsi melaporkan jumlah pulau yang berada di wilayah administrasinya. Proses ini dilakukan sepanjang tahun 2008-2009 secara bergantian di setiap provinsi.

“Tim Nasional memang tugasnya saat itu hanya mendata. Bukan menentukan pulau mana milik siapa, jadi jika ada wilayah yang sudah terdaftar kemudian diajukan kembali oleh provinsi lain maka tidak akan didata karena sudah dihitung sebelumnya,” ungkap Andi kepada wartawan, Selasa (17/6/2025).

Polemik perbatasan provinsi Aceh dan Sumatera Utara kembali memanas lantaran empat pulau kecil, yaitu Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang resmi terdaftar sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara dalam Keputusan Nomor 300.2.2-2138, Kementerian dalam Negeri (Kemendagri) pada April 2025 lalu.

Penerbitan keputusan tersebut memunculkan protes dari Pemerintah Aceh hingga mengangkat sengketa batas wilayah yang belum terselesaikan.

Mulanya, Sumatera Utara mendaftarkan total 213 pulau termasuk empat pulau tersebut sebagai bagian dari provinsi pada tanggal 14-16 Mei 2008.

Dalam periode yang sama, pemerintah Aceh pada 20-22 November 2008 tidak mendaftarkan empat pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah administratifnya.

Sebaliknya, ada empat pulau bernama Rangit Besar, Rangit Kecil, Malelo, dan Panjang yang didaftarkan.

Namun menurut Andi, ada versi cerita berbeda yang menyebutkan bahwa pemerintah Aceh memang sempat berkeinginan untuk mendaftarkan pulau-pulau yang bersengketa.

Hasil pendataan pertama telah diverifikasi oleh Sumatera Utara pada tahun 2009.

Sedangkan pemerintah Aceh justru mengajukan perubahan nama pada titik koordinat empat pulau yang sudah didaftarkan.

Titik koordinat Pulau Rangit Besar, Rangit Kecil, Malelo, dan Panjang diubah namanya menjadi Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang. Akan tetapi, perubahan tersebut tidak disertai dengan perubahan titik koordinat, sehingga data ini sempat membingungkan Badan Informasi Geospasial (BIG).

Dugaan Andi, Aceh mungkin sebenarnya ingin memasukan empat pulau sengketa tersebut ke dalam wilayahnya.

“Cikal bakal masalahnya di sini. Sumatera Utara sudah mendaftarkan dahulu, kemudian Aceh mendaftarkan tapi dengan titik koordinat yang salah. Secara administratif tentu yang datanya konsisten yang lebih dipercaya,” terang dia.

Bahkan, seluruh data sejak 2008 terus mengacu ke Sumatera Utara, maka Kemendagri dalam surat-surat keputusannya pun dituliskan sesuai dengan data.

Akibat polemik yang terus berlanjut, BIG dalam laporannya tahun 2021 mengatakan keempat pulau sengketa tersebut sebagai bagian dari Indonesia bukan Aceh ataupun Sumatera Utara.

Kemudian, sebuah dokumen baru yang dirilis tahun 1992 diajukan oleh Aceh tahun 2022. Dokumen tersebut memuat perjanjian batas wilayah provinsi antara Aceh dan Sumatera Utara.

Uniknya, dalam peta perjanjian digambarkan wilayah Aceh mencakup empat pulau yang bersengketa.

Dokumen inilah yang dipegang dan diperjuangkan oleh Aceh atas pulau-pulau tersebut. Sayangnya, dokumen yang diajukan masih berbentuk salinan hitam putih bukan asli.

Andi menambahkan, jika dokumen ini sah maka seharusnya pemerintah Sumatera Utara dan Kemendagri yang turut menandatangani juga memiliki dokumen asli.

“Kemudian jika Aceh berhasil menemukan dokumen asli, maka kepemilikan Aceh bisa dipertimbangkan,” ujarnya.

Selain soal administratif, Andi menjelaskan bahwa di empat pulau tersebut ternyata sudah ada aktivitas dari pemerintah Aceh.

“Pulaunya memang tidak berpenduduk, tapi Aceh sudah beraktivitas di sana jauh dari tahun 2008, tapi perlu digarisbawahi bahwa kekuasaan efektif seperti aktivitas atau pengelolaan sebuah wilayah hanya bisa diberlakukan apabila secara hukum sudah jelas,” ujarnya.

Sedangkan soal polemik ini menurut Andi masih menempatkan kekuatan administratif pada Sumatera Utara.

Maka untuk menyelesaikan konflik diperlukan dokumen asli dari salinan dokumen yang diajukan Aceh ataupun dokumen-dokumen lainnya mengenai empat pulau tersebut yang terbit sebelum tahun 2008.

Temukan Dokumen 1992

Diketahui, pemerintah telah memutuskan sengketa empat pulau yang diperebutkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Utara dan Aceh.

Presiden Prabowo Subianto memutuskan empat pulau itu sah milik Pemprov Aceh.

Hal itu disampaikan dalam konferensi pers Mensesneg Prasetyo Hadi di kantor Presiden, Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (17/6/2025).

Turut hadir Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Mendagri Tito Karnavian, Gubernur Sumut Bobby Nasution, dan Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem.

Tito menjelaskan, pihaknya mencari dokumen tahun 1992 yang sempat diajukan di tahun 2022.

Ia menilai, dokumen itu penting lantaran menjadi kesepakatan dua gubernur, disetujui pemerintah pusat dan diwakili oleh Mendagri kala itu, Rudini.

“Pada April 2025, pulau itu masih berada dalam cakupan Sumatera Utara, karena dokumennya belum ketemu. Sambil kita mencari. Alhamdulillah, saya memerintahkan jajaran Kemendagri sedapat mungkin untuk mencari surat itu,” jelas Tito.

Ia mengungkap, jika ditandatangani oleh tiga pihak, maka ketiganya pasti memiliki arsip dari dokumen tersebut.

Di Sumatera Utara, jelasnya, tidak ditemukan dokumen tersebut, begitu pula Aceh.

“Namun, setelah kita minta bongkar apapun juga dokumen yang berkaitan dengan status empat pulau ini agar dicari. Alhamdulillah, kemarin pada 16 Juni 2025, kita punya pusat arsip Pondok Kelapa, Jakarta Timur, setelah dibongkar, dokumen asli kesepakatan dua gubernur itu tidak ketemu, tapi justru ketemu Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 1992,” ungkapnya.

Tito menyebut, dokumen itu sangat penting dan kertas dari dokumen tersebut sudah cukup menguning. Pihaknya pun meminta siapa yang menemukan dokumen tersebut wajib membuat Berita Acara dan menjadi saksi.

“Tertanggal 21 November 1992. Dokumen ini, kenapa penting? Karena menunjukkan bahwa, adanya semacam pengakuan, kesepakatan dua gubernur tentang pembagian wilayah itu benar. Jadi, ini legalisasi bahwa kesepakatan itu terjadi,” terang dia.

Dijelaskan Tito, dalam Kepmen itu, ada batas wilayah, di poin ketiga disebut mengacu pada batas wilayah Sumatera Utara dan Aceh, itu mempedomani peta topografi TNI AD tahun 1978.

Setelah dicari, di peta tersebut, terlihat empat pulau itu, tidak masuk wilayah Sumatera Utara, tapi masuk ke wilayah Aceh.

Dengan begitu, pemerintah menyelesaikan permasalahan empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumut dengan memasukkan kembali empat pulau ke wilayah Aceh atau Kabupaten Aceh Singkil.

Hal itu berdasarkan kesepakatan bersama antara Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Utara dan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh tahun 1992 dan Kepmendagri No. 111 tahun 1992 tentang Penegasan Batas Wilayah antara Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara dan Provinsi Daerah Istimewa Aceh per tanggal 24 November 1992. (Ard)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved