Ribuan Mahasiswa FH UGM Berkabung untuk Mendiang Argo di Bawah Patung Dewi Keadilan
Bunga-bunga ditaruh perlahan di depan bingkai foto Argo Ericko Achfandi, sosok muda berusia 19 tahun yang kini tinggal nama dan senyuman.
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Yoseph Hary W
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Senin malam, 26 Mei 2025, Fakultas Hukum UGM tenggelam dalam duka yang senyap namun penuh gemuruh. Di bawah temaram cahaya, ribuan mahasiswa berpakaian hitam-hitam berdiri di halaman fakultas.
Suara sedu sedan tangis terdengar menggema. Di hadapan mereka - di depan patung Dewi Keadilan - tumpah rasa kehilangan yang tak bisa disangkal sekaligus tak bisa disembunyikan.
Bunga-bunga ditaruh perlahan di depan bingkai foto Argo Ericko Achfandi, sosok muda berusia 19 tahun yang kini tinggal nama dan senyuman.
Di wajah-wajah teman-temannya, air mata jatuh. Doa-doa dipanjatkan untuk ketenangan mendiang Argo.
Argo, mahasiswa FH UGM angkatan 2024. Baru satu tahun dia kuliah di kampus tersebut, tapi ia harus menghadapi takdir.
Ia meninggal dunia, Sabtu (24/5/2025) dini hari setelah ditabrak mobil BMW yang dikendarai oleh Christiano Tarigan (22), mahasiswa International Undergraduate Program (IUP) Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM.
Kecelakaan maut tersebut terjadi di Jalan Palagan Tentara Pelajar, tepatnya di simpang tiga dusun Sedan, Kalurahan Sariharjo, Kapanewon Ngaglik, Kabupaten Sleman.
Di antara ribuan baju hitam, Aji berdiri, menjadi perwakilan mahasiswa untuk berbicara mengenang mendiang Argo.
“Saya mengenal Argo sejak hari pertama kami jadi mahasiswa di sini,” ucap Aji, yang malam itu mewakili ribuan suara yang tak mampu bicara. “Kami duduk bersebelahan di kelas menulis. Ternyata kami sama-sama dari Jakarta, bahkan sekolah dasarnya pun sama,” tambahnya.
Aji berhenti sejenak. Suaranya hampir pecah, tapi ia terus bicara. “Argo itu orang yang baik. Ramah. Tidak pernah mau merepotkan orang lain. Dia bukan sekadar berita. Dia teman saya. Dia anak dari seorang ibu. Dia murid dari seorang guru. Dia manusia. Sama seperti kita semua,” jelasnya.
Keheningan menyelimuti halaman fakultas. Cahaya lilin dan layar ponsel menambah nuansa duka mendalam. Bukan sekadar kehilangan, ini adalah jeritan yang menuntut keadilan.
“Keluarga Argo sudah ikhlas, seratus persen,” kata Aji. “Tapi mereka menuntut keadilan. Mereka butuh kita. Mereka percaya pada kita. Terutama kita, mahasiswa Fakultas Hukum,” paparnya.
Di hadapan Patung Dewi Keadilan yang memegang neraca dan pedang, mahasiswa berdiri, duduk, dan menangis. Suasana temaram membuat segalanya terasa berat.
“Kita mungkin belum bisa turun langsung ke ranah hukum,” ujar Aji kepada teman-temannya yang lebih muda. “Tapi kita bisa bersuara. Kita bisa viralkan. Kita bisa pastikan dunia tahu: ada ketidakadilan yang merenggut nyawa Argo,” ujar dia.
Sekali lagi, namanya disebut. Argo. Bukan sekadar headline. Bukan angka. Bukan objek yang bisa ditukar uang.
“Ia adalah satu nyawa. Satu hidup. Satu teman yang kini tinggal kenangan dan perjuangan,” tutupnya. (Ard)
Hingga Agustus 2025, Realisasi Pembayaran PBB-P2 di Gunungkidul Capai Rp17,4 Miliar |
![]() |
---|
Volume Layanan Angkutan Barang KAI Daop 6 Yogyakarta Meningkat 8 Persen |
![]() |
---|
Temuan Kasus Aktif TBC di Gunungkidul Rendah, Dinkes: Periksa Jika Bergejala |
![]() |
---|
Respons Hasil Lab Penyebab Keracunan MBG di Wates, SPPG Janji Jaga Prosedur Pengolahan |
![]() |
---|
Ketika Anak-anak di Klaten Dikenalkan Nilai Antikorupsi Lewat Lomba-lomba |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.