Pernikahan Dini di DIY Masih Tinggi: Stigma, Patriarki, dan Kemiskinan Jadi Akar Masalah

angka pengajuan dispensasi perkawinan atau pernikahan dini di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih berada di angka mengkhawatirkan. 

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Hari Susmayanti
TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO
Kepala DP3AP2 DIY, Erlina Hidayati Sumardi. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Meski mengalami penurunan, angka pengajuan dispensasi perkawinan atau pernikahan dini di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih berada di angka mengkhawatirkan. 

Lebih dari sekadar persoalan hukum atau administratif, fenomena ini menyingkap persoalan struktural yang kompleks, mulai dari kehamilan tidak diinginkan, norma sosial yang timpang gender, hingga keterbatasan akses pendidikan di kelompok ekonomi menengah ke bawah.

Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) DIY mencatat, hingga pertengahan tahun 2024, terdapat 421 pengajuan dispensasi perkawinan.

Meski turun dibandingkan tahun 2023 yang mencapai 599 kasus, angka ini tetap menunjukkan bahwa ratusan anak di DIY masih terjerat dalam praktik pernikahan usia dini.

Soleh Anwari, Kepala Bidang Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana DP3AP2KB DIY, menjelaskan bahwa penyebab dominan dari pengajuan dispensasi adalah kehamilan yang tidak diinginkan (KTD).

Dalam banyak kasus, remaja perempuan menjadi pihak yang paling terdampak, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara sosial dan emosional.

“Kehamilan di luar nikah sangat distigmatisasi, terutama pada perempuan. Akibatnya, pernikahan dipaksakan sebagai solusi moral,” ungkap Soleh.

Stigma sosial yang masih kuat terhadap perempuan yang hamil di luar nikah mencerminkan keberlanjutan budaya patriarki di masyarakat.

Dalam budaya tersebut, kehormatan keluarga sering kali dilekatkan pada kesucian anak perempuan, sehingga pernikahan dipandang sebagai "penyelesaian cepat" untuk menjaga citra sosial keluarga.

Baca juga: Catatan Angka Pernikahan Dini di DIY, Sebagian Besar karena Hamil Duluan, Ini Upaya Pemda

Lebih jauh, faktor ekonomi juga memperkuat praktik pernikahan dini.

Soleh mengungkapkan bahwa sebagian besar keluarga yang mengajukan dispensasi berasal dari kelompok pra sejahtera yang menganggap pernikahan anak sebagai strategi mengurangi beban ekonomi keluarga.

“Di keluarga kelas menengah bawah, akses terhadap pendidikan tinggi tidak dianggap prioritas, terlebih untuk anak perempuan,” jelasnya.

Data menunjukkan bahwa banyak pasangan remaja yang menikah dengan dispensasi tidak melanjutkan pendidikan.

Putus sekolah menjadi titik balik yang membuat anak rentan terhadap eksploitasi sosial dan ekonomi.

Dengan menikah muda, anak-anak ini kehilangan hak untuk berkembang secara optimal, baik dalam hal pendidikan, kesehatan, maupun kesejahteraan emosional.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved