Pertemuan PT KAI dan Warga Lempuyangan Buntu, Warga Tolak Kompensasi dan Tuntut Mediasi Netral

Warga menolak tawaran kompensasi pengosongan bangunan dan meminta proses penyelesaian dilakukan dalam ruang mediasi netral

Istimewa
PENOLAKAN WARGA: Warga Kampung Tegal Lempuyangan yang terdampak proyek pengembangan Stasiun Lempuyangan memasang banner penolakan terhadap rencana pemindahan warga dari lingkungan tempat tinggalnya. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pertemuan lanjutan antara PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 6 Yogyakarta dan warga terdampak di kawasan Lempuyangan, Kota Yogyakarta, berakhir tanpa kesepakatan. 

Warga menolak tawaran kompensasi pengosongan bangunan dan meminta proses penyelesaian dilakukan dalam ruang mediasi netral dengan melibatkan pihak Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan lembaga legislatif daerah.

Manager Humas PT KAI Daop 6 Yogyakarta, Feni Novida Saragih, menjelaskan bahwa pertemuan yang digelar Kamis (15/5/2025) merupakan kelanjutan dari sosialisasi sebelumnya. 

Dalam pertemuan tersebut, pihaknya menerima sejumlah aspirasi dan penolakan dari warga terkait rencana pengosongan 14 bangunan yang diklaim sebagai aset perusahaan.

“Intinya, kami telah menerima aspirasi dan masukan dari warga. Kami sudah menyampaikan bahwa ada semacam ongkos bongkar, tetapi warga tetap menolak. Karena ada penolakan, langkah selanjutnya akan kami bahas secara internal,” kata Feni.

Mengenai besaran kompensasi yang beredar di tengah warga, Feni belum bersedia memberikan penjelasan lebih lanjut.

Ia menegaskan bahwa hasil pertemuan hari ini masih akan ditindaklanjuti secara internal.

Di sisi lain, Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Muhammad Rakha Ramadhan, menyampaikan keberatan atas pelaksanaan pertemuan tersebut yang dilakukan secara sepihak oleh PT KAI. 

Baca juga: Polemik Proyek Beautifikasi Stasiun Lempuyangan, Kraton Yogya Isyaratkan Ganti Untung untuk Warga

Menurut Rakha, proses dialog semestinya dilakukan melalui jalur mediasi formal yang telah difasilitasi oleh Keraton Yogyakarta, DPRD DIY, serta Pemerintah Kota Yogyakarta.

“Seharusnya PT KAI menghargai proses mediasi yang sedang berjalan. Kami dan PT KAI tengah bersengketa. Maka kami membutuhkan ruang tengah,” ujar Rakha.

Rakha menambahkan, warga dan LBH tidak berbicara soal kompensasi semata, melainkan hak atas tempat tinggal yang layak.

Ia mempertanyakan dasar hukum PT KAI dalam mengklaim bangunan-bangunan tersebut sebagai aset negara, merujuk pada sejarah panjang hubungan sewa antara perusahaan kereta api Belanda dan Keraton sejak 1926.

“PT KAI selalu mengklaim 14 bangunan ini sebagai milik mereka berdasarkan peraturan pemerintah terkait nasionalisasi perusahaan Belanda. Pertanyaannya, apakah bangunan ini sebelumnya benar-benar milik Belanda? Karena di Jogja perusahaan milik Belanda itu ada sewa menyewa. Ada perjanjian dengan pihak Keraton," ujarnya.

Menurutnya, status tanah dari tahun 1945 hingga 1949, yakni masa transisi sebelum nasionalisasi diberlakukan, belum pernah dijelaskan secara tertulis oleh PT KAI.

Oleh sebab itu, warga mendesak adanya penjelasan resmi dan transparansi informasi terkait status kepemilikan lahan dan bangunan tersebut.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved