UNU Jogja dan 6 Kampus Ajak Mahasiswa Ikuti Dialog Antaragama

Setara Institute mencatat total ada 217 peristiwa dengan 329  tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Yoseph Hary W
Istimewa
DIALOG: UNU Yogyakarta dan enam kampus mengajak mahasiswa untuk mengikuti dialog antaragama, Sabtu (10/5/2025) di Kampus UNU 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Sebanyak 30,16 persen mahasiswa Indonesia sesuai penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta pada 2021 ternyata tidak toleran. 

Fenomena ini dapat menjadi ancaman serius bagi keberagaman Indonesia, di mana anak muda yang seharusnya menjadi pembawa damai justru merusak perdamaian. 

Hal ini mengemuka dalam workshop dan pelatihan kepada mahasiswa sebagai bagian dari program Peningkatan Kapasitas Mahasiswa Lintas Iman untuk Dialog Antaragama dan Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI) di Indonesia yang digelar di Kampus Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta, di Dowangan, Gamping, Sleman, Sabtu (10/5/2025).

Direktur Center for Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) UNU Yogyakarta, Wiwin Rohmawati menjelaskan, meskipun Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dikenal sebagai kota pendidikan, masih banyak mahasiswa dari berbagai agama dan etnis yang belum terlibat dalam dialog antaragama. 

"Data juga menunjukkan bahwa kasus intoleransi beragama di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah masih tinggi dalam 5 tahun terakhir," ujar Ketua Panitia program ini.

Merujuk data tersebut, pada tahun 2023, Setara Institute mencatat total ada 217 peristiwa dengan 329  tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia. 

Dari jumlah itu, Jawa Tengah dan DIY menempati posisi lima besar dengan 14 peristiwa intoleransi.

Di Indonesia, lanjut Wiwin, korban kasus intoleransi terbanyak adalah penganut Ahmadiyah, agama lokal/penghayat, Kristen, dan Syiah. 

Sementara itu, tempat ibadah yang paling banyak diserang adalah gereja, masjid penganut Syiah dan Ahmadiyah, wihara, kelenteng, dan sinagog. 

"Oleh karena itu, membangun perjumpaan langsung antarmahasiswa yang berasal dari berbagai latar belakang agama dan suku menjadi hal yang krusial di tengah realitas banyaknya kasus intoleransi, pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta ancaman radikalisme di kalangan anak muda di Indonesia," tuturnya.

Direktur PuSAIK Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Suhadi Cholil, menambahkan, dialog antaragama merupakan sarana yang sangat penting bagi mahasiswa untuk meningkatkan daya kritis, membangun hubungan antaragama yang baik dan bermakna, serta menginisiasi kerja sama untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial di masyarakat. 

"Banyak inisiatif dialog antaragama telah dilakukan, namun demikian, belum ada inisiatif yang melibatkan mahasiswa dari 7 kampus sekaligus dengan latar belakang agama yang berbeda, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Begitu pula, belum ada yang berupaya mengembangkan dialog antaragama sekaligus memperkuat perspektif dan praktik GEDSI," ujar Suhadi.

Padahal, lanjutnya, dialog antaragama tidak dapat berdiri sendiri. 

Ia memiliki persinggungan yang sangat kuat dan saling terkait dengan berbagai isu di masyarakat, salah satunya dengan isu GEDSI. 

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved