Mantan Sekretaris Komisioner KPU jadi Saksi Sidang Kasus Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto

Sidang perkara dugaan suap yang menjerat Sekjen PDI-Perjuangan, Hasto Kristiyanto, kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta

Penulis: Hari Susmayanti | Editor: Hari Susmayanti
KOMPAS.com/ADHYASTA DIRGANTARA
RICUH : Satgas PDI-P dan polisi bentrok usai sidang Hasto Kristiyanto di Gedung Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (24/4/2025). 

TRIBUNJOGJA.COM, JAKARTA — Sidang perkara dugaan suap yang menjerat Sekjen PDI-Perjuangan, Hasto Kristiyanto, kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Jumat (25/4/2025).

 Dalam agenda persidangan kali ini, Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan dua saksi penting.

Dua saksi tersebut adalah Rahmat Setiawan Tonidaya, seorang pegawai negeri sipil yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Pimpinan KPU Wahyu Setiawan pada periode 2017–2020, serta Ilham Yulianto, yang merupakan sopir dari Saeful Bahri.

Perkara ini mencuat ke publik karena keterlibatan Hasto dalam upaya pengurusan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI Harun Masiku, yang disebut-sebut menjadi bagian dari praktik suap.

Dalam dakwaan yang dibacakan pada persidangan sebelumnya, Jumat (14/3/2025), jaksa membeberkan bahwa Hasto bersama orang-orang terdekatnya, yaitu Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku, terlibat dalam pemberian suap kepada mantan komisioner KPU, Wahyu Setiawan.

"Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut memberi atau menjanjikan sesuatu," ujar Jaksa KPK Wawan Yunarwanto kala itu.

Baca juga: Kronologi Kericuhan Satgas Cakra Buana PDIP dan Polisi di PN Jakpus Saat Sidang Hasto Kristiyanto

Jaksa menyebutkan bahwa uang suap yang diberikan berjumlah 57.350 dolar Singapura (sekitar Rp600 juta).

Tujuannya agar Wahyu Setiawan memuluskan PAW dari Riezky Aprilia ke Harun Masiku, meski langkah tersebut bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.

"Yang bertentangan dengan kewajiban Wahyu Setiawan selaku anggota KPU RI yang termasuk penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme," lanjut jaksa.

Proses PAW ini bermula dari meninggalnya Nazarudin Kiemas, caleg PDIP dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I.

Meski dalam pemilu 2019 Riezky Aprilia memperoleh suara terbanyak kedua setelah Nazarudin, DPP PDIP justru menetapkan Harun Masiku sebagai pengganti.

Hasto disebut memerintahkan tim hukum partai untuk menggugat aturan KPU ke Mahkamah Agung dan menginstruksikan Donny serta Saeful untuk mengawal proses PAW agar Harun dilantik menjadi anggota DPR.

"Dan melaporkan setiap perkembangan, baik mengenai komitmen penyerahan uang dan segala hal terkait pengurusan Harun Masiku kepada Terdakwa," kata jaksa.

Meski KPU akhirnya menolak permintaan tersebut dan tetap menetapkan Riezky Aprilia dalam rapat pleno terbuka 31 Agustus 2019, upaya PAW dari pihak Hasto terus berjalan.

Termasuk dengan permintaan fatwa kepada Mahkamah Agung dan pemberian suap kepada komisioner KPU.

Atas perbuatannya, Hasto dijerat dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP. (*)

 

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved