Sosiolog: Masalah Keuangan Tidak Bisa Jadi Alasan Ibu Tiri di Sleman Aniaya Anak Sambung

Ia menilai, tindak kekerasan yang dilakukan oleh orangtua sambung, seperti ibu atau bapak tiri, perlu dilihat secara mendalam.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
Tribun Jogja/ Ahmad Syarifudin
IBU TIRI - Tersangka ibu tiri pelaku penganiayaan terhadap bocah 4 tahun di Purwomartani, Sleman 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kasus dugaan penganiayaan anak oleh ibu tiri di Sleman menjadi sorotan publik.

Seorang ibu di Sleman, berinisial FR (37) menganiaya anak tirinya saat sang suami, ayah kandung anak, tidak ada di rumah.

Motifnya karena pelaku rewel apalagi di tengah keterbatasan ekonomi sehingga membuat pelaku emosi. 

Menanggapi hal ini, Sosiolog Universitas Widya Mataram Yogyakarta, Dr Mukhijab, menegaskan bahwa kondisi disharmoni dalam keluarga, termasuk tekanan ekonomi, tidak dapat dijadikan pembenaran atas tindak kekerasan terhadap anak.

“Masalah ekonomi memang terjadi di banyak keluarga, tapi itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menyakiti anak. Orang tua sambung yang bertanggung jawab akan menyelesaikan konflik secara dewasa, bukan melampiaskannya pada anak,” ujar Mukhijab kepada Tribun Jogja, Jumat (18/4/2025).

Ia menilai, tindak kekerasan yang dilakukan oleh orangtua sambung, seperti ibu atau bapak tiri, perlu dilihat secara mendalam.

Faktor pemicu bisa berasal dari karakter pribadi pelaku, dinamika hubungan suami istri, hingga tekanan sosial ekonomi yang dihadapi.

Namun demikian, semua itu tidak menghapus tanggung jawab moral dan hukum atas perlakuan terhadap anak.

Baca juga: Kasus Ibu Tiri di Sleman Sakiti Anak Suaminya, Bermula Dua Kata Terucap: Ibu Jahat

Dalam kasus ibu tiri di Sleman, disebutkan bahwa ibu tiri diduga menganiaya anak sambung. Menurut Mukhijab, anak biasanya rewel dan bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan perhatian.

Jika reaksi sang ibu justru berupa kekerasan, hal itu mengindikasikan adanya masalah psikologis maupun sosial yang lebih dalam.

“Ketika ibu sambung justru merespons dengan kekerasan, itu menunjukkan ketidakmatangan emosional dan adanya ketegangan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam relasi keluarga maupun lingkungan sosialnya,” jelasnya.

Ia juga menekankan bahwa anak yang hidup dalam pengasuhan orang tua yang emosional dan ringan tangan tergolong sebagai anak yang memerlukan perlindungan khusus (Children in Need of Special Protection/CNSP).

Dalam konteks ini, pengawasan perlu ditingkatkan, termasuk melalui pemanfaatan teknologi seperti CCTV, asalkan digunakan secara bijak.

Mukhijab menyebutkan dua pendekatan solusi jika kekerasan sudah terjadi: rekonsiliasi antara anak dan ibu sambung, atau langkah ekstrim berupa pemisahan jika sudah tidak kondusif.

Selain itu, proses hukum terhadap pelaku kekerasan harus tetap ditegakkan demi memberikan efek jera.

“Kalau orang tua sambung masih melampiaskan tekanan hidupnya kepada anak, mereka bukan orang dewasa yang bijak, tapi dewasa yang kekanak-kanakan,” tegasnya. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved