Komentar Dirut RSA UGM Soal Kekerasan Seksual Dokter: Etika Harus Menyatu dengan Hidup Residen
Dirut RSA UGM turut komentari kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum dokter residen di Bandung
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Hari Susmayanti
Evaluasi terhadap aspek etik dan komunikasi juga dilakukan oleh DPJP sebagai penilai utama performa residen.
“Tahap merah belum boleh memegang pasien. Kuning boleh tapi masih dibimbing. Hijau baru bisa mandiri. Semua tetap dalam pengawasan DPJP,” jelas Darwito.
Bagaimana RSA UGM melakukan pencegahan kekerasan seksual di RS?
RSA UGM mengakui saat ini memang belum memiliki pelatihan khusus yang berdiri sendiri.
Namun demikian, materi mengenai kekerasan seksual, perundungan, dan penyalahgunaan wewenang telah disisipkan dalam sesi awal pendidikan.
Hal ini menjadi bentuk komitmen bersama antara RSA dan Fakultas Kedokteran UGM untuk menjaga marwah pendidikan kedokteran yang bermartabat.
“Semua residen di sini menandatangani kontrak bahwa mereka tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang. Kalau melanggar, ya dikembalikan ke fakultas,” ujarnya.
Langkah-langkah preventif juga terus dilakukan sebagai upaya menciptakan ruang pendidikan dan layanan kesehatan yang aman bagi semua pihak, baik pasien maupun tenaga medis.
RSA UGM telah memasang kamera pengawas (CCTV) di berbagai titik strategis dalam lingkungan rumah sakit untuk memastikan seluruh aktivitas terekam dan dapat diawasi dengan baik.
Kehadiran sistem pemantauan ini menjadi instrumen penting dalam mencegah potensi pelanggaran dan memastikan transparansi dalam interaksi yang terjadi di lingkungan rumah sakit.
Selain itu, RSA juga menerapkan pengaturan sistem jaga yang memisahkan residen laki-laki dan perempuan guna meminimalkan potensi kerentanan dan menjaga kenyamanan seluruh peserta didik.
Darwito menilai, keberadaan DPJP sebagai pengawas utama dalam setiap kegiatan pendidikan menjadi kunci dalam memastikan jalannya proses pembelajaran yang tidak hanya aman secara fisik, tetapi juga etis dan profesional.
“Kami usahakan tidak ada pencampuran shift jaga antara laki-laki dan perempuan. Semua kegiatan pendidikan dipantau oleh DPJP,” tutur Darwito.
Ketika ditanya soal bagaimana RSA menyikapi kasus kekerasan seksual yang terjadi di luar institusi, Darwito menekankan pentingnya membedakan antara tindakan dalam kapasitas pendidikan dan tindakan pribadi.
“Kalau itu pidana murni, ya itu urusan negara. Tapi kalau terjadi dalam proses pendidikan di rumah sakit, kami bisa beri sanksi akademik, termasuk mengeluarkan. Institusi wajib bertindak jika TKP-nya di sini. Tapi kalau di luar dan di luar jam pendidikan, itu bukan wewenang rumah sakit,” tegasnya.
Di Bawah Tenda dan Hujan Deras, Mahasiswa UGM Kritik Efisiensi dan Penanganan Kekerasan Seksual |
![]() |
---|
Marak Kekerasan Seksual di Kampus, BEM FISIP UNY Deklarasikan Perlawanan |
![]() |
---|
Nasib Guru Besar Fakultas Farmasi UGM Terduga Pelaku Kekerasan Seksual, Kata Wamendiktisaintek |
![]() |
---|
Dokter di Jogja Doa Bersama Prihatin Mutasi Mendadak Kemenkes: Dampaknya ke Pasien |
![]() |
---|
Kualitas Ayam Busuk Menu MBG dan Keracunan Siswa, Ini Reaksi Ahli Gizi RSA UGM |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.