Ketua PN Jakarta Selatan Tersangka Suap Ekspor CPO: Dugaan Suap Rp 60 M, Tiga Raksasa Sawit Terlibat

Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan suap

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Ikrob Didik Irawan
ist
Ilustrasi : Ketua PN Jakarta Selatan Tersangka Suap Ekspor CPO: Dugaan Suap Rp 60 M, Tiga Raksasa Sawit Terlibat 

TRIBuNJOGJA.COM - Dunia peradilan Indonesia kembali diguncang skandal suap.

Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan suap perkara fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) untuk tiga perusahaan besar, yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.

“Penyidik Kejaksaan Agung menetapkan empat orang sebagai tersangka karena telah ditemukan bukti yang cukup terjadinya tindak pidana suap dan gratifikasi terkait penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, dalam konferensi pers di Lobi Kartika, Kejaksaan Agung, Jakarta, pada Sabtu (12/4/2025).

Selain Arif, Kejagung menetapkan tiga tersangka lainnya, yaitu Panitera Muda Perdata Jakarta Utara berinisial WG, Kuasa Hukum Korporasi Marcella Santoso (MS), dan seorang advokat berinisial AR.

Baca juga: Huistra Minta Suporter PSS Sleman Penuhi Stadion Maguwoharjo saat Lawan Dewa United

Arif, yang juga disebut dengan inisial MAN, diduga menerima uang suap sebesar Rp 60 miliar dari MS dan AR. Uang tersebut diberikan melalui WG dengan tujuan agar majelis hakim menjatuhkan putusan yang menyatakan perbuatan tiga korporasi terdakwa bukan suatu tindak pidana atau ontslag.

“Penyidik menemukan alat bukti MS dan AR melakukan suap dan gratifikasi kepada MAN diduga sebanyak Rp 60 miliar, di mana pemberian suap tersebut diberikan WG,” lanjut Qohar.

Atas tindakannya, Arif disangkakan melanggar berbagai pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta dijerat Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

WG, MS, dan AR juga dikenai pasal-pasal serupa yang mencakup penyuapan, gratifikasi, dan persekongkolan dalam tindak pidana korupsi.

Keempat tersangka ditahan di tiga rumah tahanan berbeda. Muhammad Arif Nuryanta dan Marcella Santoso ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejagung.

Advokat AR ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejari Jakarta Selatan, sementara WG ditahan di Rutan Kelas I Jakarta Timur cabang Rutan KPK.

“Terhadap empat tersangka dilakukan penahanan 20 hari ke depan, terhitung mulai hari ini,” jelas Qohar.

Dalam penggeledahan yang dilakukan pada 11–12 April 2025 di Jakarta, penyidik menyita sejumlah barang bukti, termasuk amplop berisi uang dalam berbagai pecahan mata uang asing dan empat mobil mewah. Salah satu temuan berasal dari rumah advokat Ariyanto.

“(Telah disita) satu buah amplop berwarna coklat yang berisi 65 lembar uang pecahan, dollar Singapura, setiap lembarnya bernilai 1.000 dollar Singapura,” ungkap Abdul.

“Kemudian, satu buah amplop warna putih yang berisi 72 lembar uang pecahan, (masing-masing bernilai) 100 dollar Amerika.”

Tak hanya itu, penyidik juga menyita uang tunai dalam berbagai mata uang, termasuk rupiah senilai Rp 136.950.000, dan sebuah dompet hitam berisi 23 lembar uang pecahan 100 dollar AS.

Empat mobil mewah—termasuk Nissan dan Ferrari—ikut disita, meski belum diketahui apakah kendaraan itu terkait langsung dengan suap untuk Arif atau hakim lain, atau memang milik pribadi tersangka.

Dari informasi resmi Mahkamah Agung, pada 19 Maret 2025, tiga korporasi yang terlibat dinyatakan bebas dari seluruh tuntutan jaksa.

Meski dalam putusan disebutkan bahwa perbuatan para terdakwa sesuai dengan dakwaan, majelis hakim menyatakan bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.

Jaksa sebelumnya menuntut masing-masing korporasi untuk membayar denda dan uang pengganti dalam jumlah fantastis.

PT Wilmar Group dituntut membayar denda Rp 1 miliar dan uang pengganti sebesar Rp 11,88 triliun.

Jika tidak dibayarkan, aset Tenang Parulian selaku Direktur dapat disita dan dilelang, dengan ancaman pidana 19 tahun penjara jika tidak mencukupi. 

PT Permata Hijau Group dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 937 miliar, dan Musim Mas Group dituntut membayar hampir Rp 4,89 triliun.

Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, menyebut penangkapan ini sebagai bukti lemahnya upaya pembenahan lembaga peradilan.

“Penangkapan ini menunjukan bahwa ternyata pekerjaan rumah dalam pembenahan lembaga peradilan belum ditindaklanjuti secara serius,” ujar Lakso saat dihubungi pada Minggu (13/4/2025).

“Terlebih, apabila benar Kejaksaan mampu membuktikan suap ini dilakukan atas proses hukum perkara korupsi. Artinya, adanya korupsi dalam penanganan kasus korupsi,” tambahnya.

Menurut Lakso, kasus ini harus menjadi momentum bagi Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan seluruh aparat penegak hukum untuk fokus pada upaya pembersihan internal.

“Hal tersebut mengingat tidak akan terjadi perubahan signifikan tanpa adanya upaya serius untuk membersihkan 'sapu' yang digunakan dalam memberantas korupsi,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa Mahkamah Agung perlu mengambil langkah radikal untuk menyelesaikan persoalan korupsi secara sistemik.

“Sehingga persoalan mendasar dapat dicari dan diselesaikan secara objektif. MA perlu melibatkan pihak eksternal dalam proses reform ini untuk menunjukan keseriusan serta mendorong indepedensi penanganannya,” pungkasnya. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved