Deteksi Dini Penyakit TBC Berbasis AI Inovasi Peneliti UGM Yogyakarta
tim peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mengembangkan teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI) guna mendukung deteksi dini penyakit TBC
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Iwan Al Khasni
Lebih dari 724.000 kasus tuberkulosis (TBC) baru di Indonesia ditemukan pada 2022. Jumlahnya meningkat menjadi 809.000 kasus pada tahun 2023. Jumlah ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kasus sebelum pandemi yang rata-rata penemuan kasus dibawah 600.000 per tahun. Dari situ, tim peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mengembangkan teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI) guna mendukung deteksi dini penyakit TBC.
INOVASI ITU diharapkan dapat menjadi solusi bagi Indonesia yang hingga kini masih mengandalkan teknologi impor dalam pelaksanaan pencarian kasus TBC secara aktif.
Dr. Antonia Morita I. Saktiawati, Ph.D., peneliti Pusat Kedokteran Tropis UGM yang juga berperan sebagai Principal Investigator pada Project KONEKSI, mengungkapkan bahwa timnya sedang merancang perangkat lunak berbasis kecerdasan buatan (AI) bernama computer-aided detection (CAD).
Teknologi ini dirancang untuk membantu tenaga kesehatan dalam menganalisis hasil rontgen dada guna meningkatkan efektivitas skrining TBC secara lebih cepat dan akurat.
”Kita sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengembangkan teknologi ini sendiri, apalagi dengan jumlah kasus yang tinggi,” ujar dr. Morita baru-baru ini.
Ia menambahkan bahwa penelitian ini telah berlangsung cukup lama dengan keterbatasan pendanaan, namun kini mendapatkan dukungan dari program KONEKSI yang diinisiasi oleh Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) Australia.
Sejumlah institusi pun turut berkolaborasi dalam penelitian ini, termasuk UGM, University of Melbourne, Monash University Indonesia, Universitas Sebelas Maret, serta beberapa organisasi kesehatan dan advokasi seperti Yayasan Pengembangan Kesehatan dan Masyarakat Papua (YPKMP) dan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA).
Masih menurut Morita, saat ini Indonesia menempati peringkat kedua di dunia dalam jumlah kasus TBC terbanyak.
Dari estimasi sekitar 1.060.000 kasus, baru sekitar 81 persen yang telah terdiagnosis.
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menargetkan cakupan deteksi mencapai 100 persen dengan memanfaatkan teknologi seperti computer-aided detection (CAD).
Tanpa deteksi yang tepat waktu, penderita TBC berisiko tidak mendapatkan pengobatan yang diperlukan sehingga bisa berujung pada kematian serta meningkatkan penyebaran penyakit ke orang lain.
“Oleh karena itu, upaya deteksi dini menjadi langkah krusial dalam mempercepat eliminasi TBC di Indonesia,” ungkap dr. Morita.
Selain bertujuan meningkatkan akurasi diagnosis, penelitian ini juga berfokus pada pemerataan akses layanan kesehatan bagi seluruh masyarakat.
Morita menyoroti bahwa kelompok rentan, seperti perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, serta masyarakat di daerah terpencil, masih menghadapi tantangan besar dalam memperoleh layanan TBC yang memadai.
Di banyak daerah di Indonesia, budaya patriarki masih menjadi hambatan bagi perempuan dalam mengakses layanan kesehatan, termasuk pemeriksaan dan diagnosis TBC.
Di Balik Keputusan Presiden Prabowo Beri Amnesti untuk Hasto dan Abolisi untuk Tom Lembong |
![]() |
---|
Doyan Curhat ke AI? Ini Dampaknya Menurut Dosen Ilmu Komunikasi UGM |
![]() |
---|
Inovasi Mahasiswa KKN PPM UGM, Nagari Sungai Nyalo Mudiak Aia Tak Lagi Menakutkan di Malam Hari |
![]() |
---|
Mahasiswa-Santri Ini Buktikan Bisa Mendunia, Kini Raih Beasiswa Studi ke Jepang |
![]() |
---|
Pemblokiran Rekening Nganggur oleh PPATK, Pakar UGM: Kebijakan yang Kurang Profesional |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.