Rangkuman Pengetahuan Umum

Rangkuman Materi Sejarah Kelas 12 Bab 3 Bagian A dan B: Masa Transisi Menuju Orde Baru

Pembahasan materi ini seputar masa transisi menuju orde baru, penguatan negara,  dan kelemahan kebijakan orde baru bagi pembangunan masyarakat. 

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Joko Widiyarso
kemendikbud
Sejarah Kelas 12 

TRIBUNJOGJA.COM - Hari ini kita akan belajar tentang Indonesia di masa orde baru. 

Pembahasan materi ini seputar masa transisi menuju orde baru, penguatan negara,  dan kelemahan kebijakan orde baru bagi pembangunan masyarakat. 

Materi ini dilansir dari buku Sejarah Kelas 12 karya Martina Safitry, Indah Wahyu Puji Utami, Aan Ratmanto. 


A. Masa Transisi Menuju Orde Baru tahun 1966-1967 

Peristiwa G30S/PKI menjadi titik awal jatuhnya kekuasaan Sukarno dan hilangnya kekuatan politik PKI di Indonesia.

Kondisi politik nasional Indonesia menjadi kacau dan tidak menentu.

Kondisi perekonomian negara memburuk dengan hiperinflasi hampir mencapai 600 persen.

Pemerintah melakukan devaluasi nilai uang dari 1000 rupiah menjadi 1 rupiah.

Berbagai elemen masyarakat yang tergabung dalam berbagai kesatuan aksi (KAMI, KAPI, KAPPI, KASI, KABI, KAWI, KAGI) melakukan aksi bersama.

Mereka menuntut penyelesaian terhadap permasalahan yang ada.

Mereka tergabung dalam Front Pancasila.


1. Aksi Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) 

Pada tahun 1966, situasi politik Indonesia memanas dan kondisi ekonomi memburuk.

Front Pancasila dan kelompok masyarakat lain mencetuskan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) pada 10 Januari 1966.

Isi Tritura:

  • Bubarkan PKI.
  • Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G30S/PKI.
  • Penurunan harga dan perbaikan ekonomi.

Kelompok pengusung Tritura sering berhadapan dengan militer dalam demonstrasi.

Dalam bentrokan dengan pasukan Cakrabirawa, seorang mahasiswa bernama Arif Rachman Hakim gugur.

Presiden Soekarno membubarkan KAMI, yang memicu penolakan dari mahasiswa dan pelajar.

Aksi demonstrasi berubah menjadi anarkis, termasuk penyerbuan kantor Departemen Luar Negeri, Kantor Berita Cina, dan pembakaran Kantor PKI.

Banyak pelajar, mahasiswa dan massa organisasi turun ke jalan untuk melancarkan aksi protes kepada pemerintah.

Situasi di masyarakat semakin memanas dan tidak menentu.


2. Surat Perintah Sebelas Maret

Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) adalah tonggak sejarah penting Indonesia yang menandai peralihan dari masa Demokrasi Terpimpin ke Orde Baru.

Keberadaan Supersemar dianggap kontroversial karena naskah aslinya tidak pernah ditemukan.

Surat tersebut dianggap sebagai alat kudeta dan terdapat perbedaan interpretasi dalam penafsirannya.

Pada 11 Maret 1966, Presiden Soekarno akan mengadakan sidang kabinet untuk mengatasi situasi politik yang memanas.

Sidang diboikot oleh demonstran dan tersebar rumor adanya pasukan tak dikenal di sekitar lokasi sidang.

Presiden Sukarno kembali ke Istana Bogor dan didampingi Dr. Subandrio, Dr. J. Leimena, dan Dr. Chaerul Saleh.

Presiden Sukarno berbicara dengan tiga perwira tinggi (Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen M. Jusuf, dan Brigjen Amir Machmud) yang diutus Letjen Soeharto.

Presiden Soekarno memerintahkan ketiga perwira tersebut bersama Brigjen Sabur untuk membuat konsep surat kepada Letjen Soeharto.

Surat tersebut berisi perintah kepada Letjen Soeharto untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah.

Supersemar menjadi dasar bagi Soeharto untuk membubarkan dan melarang PKI beserta organisasi yang berafiliasi dengan ideologi komunis.

Soeharto juga melakukan penahanan menteri dan anggota kabinet yang terlibat G30S/PKI.


3. Dualisme Kepemimpinan Nasional 

Awal 1966 situasi politik di Indonesia mengalami dualisme kepemimpinan antara Presiden Soekarno dan Letjen Soeharto.

Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan Supersemar memperkuat posisi Soeharto.

Berbekal ketetapan MPRS, Presiden Soekarno memerintahkan Soeharto membentuk Kabinet Ampera, menggantikan Kabinet Dwikora yang dinilai tidak efektif.

Melalui TAP MPRS No. XIII tahun 1966, Kabinet Ampera dipimpin bersama oleh Presiden Soekarno dan Letjen Soeharto.

Setelah hampir satu tahun dualisme, Sukarno mengumumkan pengunduran dirinya pada 22 Februari 1967.

Ketua MPRS, Jenderal Abdul Haris Nasution, melantik Soeharto sebagai Pejabat Presiden.

Melalui Tap MPRS No. XLIV/MPRS/1968, Soeharto resmi dilantik menjadi presiden pada 27 Maret 1968.


B. Penguatan Negara dan Kelemahan Kebijakan Orde Baru bagi Pembangunan Masyarakat 

Pemerintah Indonesia menargetkan untuk menjadi lumbung pangan dunia pada tahun 2045.

Isu ketahanan pangan dunia juga dibahas dalam agenda G20 di Bali tahun 2022.

Indonesia pernah meraih predikat swasembada beras dari FAO pada masa pemerintahan Soeharto tahun 1984.

Di awal pemerintahannya, Presiden Soeharto merancang program pembangunan nasional yang berfokus pada kesejahteraan masyarakat di sektor politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Kebijakan Soeharto berbeda dengan Sukarno. 

Jika Soekarno menekankan "Politik sebagai Panglima", Orde Baru menekankan "Ekonomi sebagai Panglima".

Namun, kebijakan politik Soeharto juga menentukan alur kebijakan ekonomi pembangunan Orde Baru.

Kebijakan Presiden Soeharto memiliki dua sisi: mendorong pembangunan masyarakat, tetapi juga menjadi penghambat.


1. Memindahkan Poros Politik hingga Memberlakukan Politik Tiga Warna 

Orde Baru mengubah arah politik luar negeri Indonesia menjadi "bebas aktif".

Perubahan ini bertujuan untuk memulihkan krisis politik luar negeri dan meningkatkan kerja sama dengan negara lain.

Pada masa akhir pemerintahan Sukarno, politik luar negeri Indonesia cenderung membentuk poros Pyongyang-Beijing-Jakarta.

Konfrontasi dengan Malaysia diakhiri dan hubungan kedua negara dinormalisasi.

Indonesia kembali menjadi anggota PBB pada 28 September 1966 setelah sebelumnya keluar di masa pemerintahan Soekarno.

Indonesia bersama empat negara Asia Tenggara lainnya mendirikan ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) pada 8 Agustus 1967.

Pendirian ASEAN diwujudkan melalui Deklarasi Bangkok.

Kelima negara yang terlibat adalah Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.

Pemerintah Orde Baru memperluas Dwifungsi ABRI untuk menciptakan kestabilan politik.

ABRI memiliki dua fungsi: menjaga pertahanan dan keamanan negara, serta memegang kekuasaan dan mengatur negara.

Kekuatan ABRI merambah ke berbagai sektor kehidupan politik, ekonomi, dan sosial.

Legitimasi kekuasaan Orde Baru semakin kuat dengan memanfaatkan Dwifungsi ABRI.

Kebijakan ini berdampak negatif, yaitu kecenderungan penerapan pendekatan militer dalam menyelesaikan masalah negara.

Pemerintah Orde Baru mengadakan pemilu setiap lima tahun sekali untuk menata kehidupan politik dan ekonomi.

Terhitung 6 kali pemilu berlangsung pada masa Orde Baru, yaitu pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.

Setelah Soeharto menjadi Pejabat Presiden, berdasarkan ketetapan MPRS No. XI tahun 1966, pemilu seharusnya diselenggarakan selambat-lambatnya 6 Juli 1968.

Namun, pemilu tersebut urung dilaksanakan dan dijadwal ulang paling lambat 5 Juli 1971.

Beberapa pihak menduga penundaan pemilu tersebut merupakan upaya politik Orde Baru untuk mempersiapkan jalan agar bisa melihat peta politik dan melanggengkan kekuasaannya.

Pada pemilu pertama tahun 1971, terdapat sepuluh partai politik yang berpartisipasi.

Pada tahun 1977, jumlah partai politik peserta pemilu dikurangi menjadi tiga partai melalui fusi pada tahun 1973.

Partai NU, PSII, Partai Muslimin, dan Perti bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia, Murba, dan IPKI bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Partai terakhir adalah Golongan Karya (Golkar).

Menurut penelitian sejarah oleh David Reeve, Golkar awalnya digagas dari pemikiran kolektif Soepomo, Soekarno, dan Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1950-an.

Namun, ideologi Golkar kemudian berbeda jauh dari ide awal pembentukannya.

Ketiga fraksi (PPP, PDI, Golkar) memiliki warna khas: hijau, merah, dan kuning.

Selama pemilu Orde Baru, Golkar selalu menjadi pemenang.

Politik tiga warna partai ini melanggengkan kekuasaan Soeharto selama 32 tahun.


2. Ekonomi sebagai Panglima Pembangunan 

Soeharto berhasil memulihkan perekonomian Indonesia yang terpuruk di akhir masa Sukarno.

Fokus pemulihan ekonomi dilakukan pada tahun 1966-1973.

Upaya yang dilakukan meliputi kerjasama dengan IMF dan Bank Dunia, kembali menjadi anggota PBB, menghentikan konfrontasi dengan Malaysia, dan membuka investasi asing.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat pesat karena fenomena Oil Boom pada tahun 1970-an.

Oil Boom pertama (1973-1974) disebabkan boikot negara-negara Arab terhadap Amerika akibat dukungan terhadap Israel dalam perang Yom Kippur.

Oil Boom kedua (1978-1979) disebabkan Revolusi Iran yang mengganggu produksi minyak dunia.

Sebagai negara penghasil minyak, Indonesia mengalami peningkatan pendapatan pemerintah.

Pemerintah dapat mengurangi ketergantungan investasi asing dan membiayai pembangunan besar-besaran.

KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme)

Pemerintahan Soeharto yang militeristik dan membagi porsi politik ekonomi kepada elite pendukung lekat dengan praktek KKN.

Kebijakan Ekonomi Tahun 1980-an membuat pemerintah menggalakkan ekspor dan deregulasi sistem finansial.

Salah satu kebijakan adalah mengizinkan pembukaan bank swasta dan asing di Indonesia.

Keterbukaan ini menimbulkan dampak berkepanjangan.

Pemerintah kesulitan memonitor aliran uang dalam sistem perbankan.

Situasi ini menjadi faktor pemberat beban Indonesia pada krisis keuangan Asia 1997/1998.


3. Penegakan Hegemoni Lewat Aspek Sosial dan Budaya 

Pemerintah Orde Baru memberikan perhatian khusus pada masalah kependudukan dan kesehatan masyarakat melalui program transmigrasi.

Program ini menjadi bagian penting dari Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I-VI.

Capaian penting: penyebarluasan teknologi pertanian di luar Pulau Jawa dan peningkatan produksi beras.

Dampak negatif: perubahan konsumsi pangan pokok menjadi beras saja, mengurangi keberagaman pangan lokal.

Pemerintah Orde Baru mencanangkan program KB untuk pengendalian jumlah penduduk.

Program KB dirintis sejak 1957, namun baru mendapat dukungan pada masa Orde Baru.

Dr. Sulistiani Saroso adalah salah satu tokoh yang mewacanakan pengendalian jumlah penduduk melalui pembatasan fertilitas, kampanye antipernikahan dini, dan penyuluhan program kelahiran yang terencana. 

Dokter Johannes Leimena (Bapak Puskesmas Indonesia) dan dr. Gerrit Augustinus Siwabessy (pelopor Puskesmas) berperan penting dalam mengintegrasikan pelayanan kesehatan masyarakat hingga ke pelosok.

Puskesmas menjadi wujud upaya mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat luas.

Pada tahun 1981, Menteri Kesehatan, Kepala BKKBN, dan Menteri Dalam Negeri mengeluarkan instruksi bersama untuk mengintegrasikan kegiatan masyarakat dalam menurunkan angka kematian Ibu dan Bayi.

Instruksi ini mewujudkan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dengan lima kegiatan: Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), KB, imunisasi, pendidikan gizi, dan penanggulangan diare.

Gerakan Posyandu dicanangkan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1986 di Yogyakarta.

Presiden Soeharto melakukan beberapa gebrakan di bidang pendidikan, antara lain:

  • Pemberantasan buta aksara.
  • Gerakan wajib belajar 9 tahun.
  • Pembangunan SD Inpres hingga ke daerah pelosok.
  • Pemberantasan buta aksara dimulai pada 16 Agustus 1978 dengan membentuk Kelompok Belajar "Kejar".

Wajib belajar 9 tahun dicanangkan pada 2 Mei 1994, mewajibkan anak usia 7-15 tahun untuk sekolah, diperkuat dengan Instruksi Presiden.

Kebijakan ini meningkatkan jumlah peserta didik secara signifikan, namun tidak diimbangi dengan perbaikan kualitas dan mutu pendidikan.

Gerakan perempuan mengalami sentralisasi, dengan penunjukan Kowani sebagai organisasi tunggal.

Kemitraan Kowani dengan Kementerian Urusan Peranan Wanita memberikan ruang partisipasi, tetapi pemerintah memaksa gerakan perempuan untuk mendukung tujuan pembangunan.

Hal ini menyebabkan organisasi perempuan tidak leluasa bergerak, berinovasi, atau menyalurkan kritik terhadap kebijakan pemerintah. (MG Ni Komang Putri Sawitri Ratna Duhita) 

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved