Catatan Kekerasan Anak dan Perempuan di Bantul, Ini Kata Kepala DP3APPKB

Kepala DP3APPKB Kabupaten Bantul, Ninik Istitarini, menyebut, sepanjang tahun 2024, ada 97 kasus kekerasan pada anak.

TRIBUNJOGJA.COM/ Neti Istimewa Rukmana
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Bantul, Ninik Istitarini. 

TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL - Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Kabupaten Bantul mencatat, sebaran kasus kekerasan pada anak di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, sedikit mengalami kenaikan. 

Untuk kasus kekerasan pada perempuan, tercatat mengalami penurunan.

Kepala DP3APPKB Kabupaten Bantul, Ninik Istitarini, menyebut, sepanjang tahun 2024, ada 97 kasus kekerasan pada anak.

Sedangkan, sepanjang tahun sebelumnya ada 92 kasus kekerasan pada anak.

Kemudian, pada tahun 2024 ada 112 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sedangkan pada tahun sebelumnya ada 114 kasus kekerasan terhadap perempuan.

"Jadi, selama tahun 2024 lalu, untuk kasus kekerasan pada anak, ada yang terjadi karena hamil duluan, pelecehan seksual, dan sebagainya. Untuk kekerasan terhadap perempuan itu banyak terjadi pada psikis. Misalnya si istri sering di marah-marah. Lalu, ada kekerasan fisik, pelecehan seksual atau pencabulan," tuturnya kepada awak media, di kantor DP3APPKB Bantul, Kamis (16/1/2025).

Sebagai upaya penanggulangan tindakan kekerasan pada perempuan dan anak, DP3APPKB Bantul tak henti-hentinya melakukan kerjasama dengan sejumlah stakeholder.

Beberapa di antaranya berupa Kantor Kementerian Agama Bantul dan Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Bantul.

"Kami juga turun ke lapangan, ke sekolah-sekolah, dan lingkungan masyarakat dengan bekerja sama sejumlah stakeholder terkait. Tujuannya agar para perempuan dan anak-anak kita bisa menjaga dirinya masing-masing. Jadi, kami berikan edukasi dari jenjang SMP, calon pengantin, sampai masa kelahiran bayi, untuk membedakan mana saja yang baik dan tidak baik," papar Ninik.

Selanjutnya, pihaknya mengusulkan agar guru masing-masing sekolah memberikan edukasi soal bahaya dan antisipasi tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Kemudian, pihaknya turut menekankan sikap atau rasa malu melakukan tindak kejahatan maupun kekerasan pada perempuan dan anak.

"Dan kami juga menekankan delapan fungsi keluarga untuk dijalankan. Delapan fungsi keluarga itu ada dari segi agama, bagaimana hubungan orang tua dan anak, kondisi lingkungan tempat tinggal, hingga sosial. Tujuannya untuk mengantisipasi kekerasan perempuan dan anak," ucap dia.

Selain itu, pihaknya juga memiliki kelompok bina keluarga balita, kelompok bina keluarga remaja, dan kelompok bina keluarga lansia, yang diharapkan turut berkontribusi menekan tindak kekerasan perempuan dan anak. Pasalnya, jenjang balita, remaja, dan lansia, dinilai rentan menjadi korban kekerasan.

Di samping itu, pihaknya juga berkerja sama dengan lembaga lain yang turut serta berkontribusi membantu menangani korban kasus kekerasan perempuan dan anak. Bahkan, pihaknya sudah memiliki Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak di setiap kalurahan agar lebih dekat dengan masyarakat dan turut mendampingi korban kekerasan perempuan dan anak.

"Satgas itu kami berikan tugas sebagai pelopor dan pelapor. Pelopor itu diharapkan dapat memberikan edukasi yang baik untuk masyarakat, sedangkan pelapor kami minta untuk bisa segera memberikan informasi kepada kami. Tapi, memang, kami hanya menangani korbannya, kalau pelaku biasanya ditangani oleh pihak penegak hukum atau lain sebagainya," paparnya.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved