Pilkada Serentak 2024

Mengapa DI Yogyakarta Tidak Melakukan Pemilihan Gubernur? Ini Alasannya

DIY tidak mengadakan pemilihan gubernur karena kedudukannya sebagai daerah istimewa berdasarkan sejarah dan undang-undang.

|
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Yoseph Hary W
istimewa
ILUSTRASI - Pelantikan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam X sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) periode 2017-2022. Pelantikan keduanya digelar di Istana Negara pada Selasa (10/10/2017). 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Hari Rabu (27/11/2024), masyarakat Indonesia melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2024 secara serentak.

Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pilkada serentak tahun ini diikuti oleh 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Artinya, masyarakat tidak hanya memilih kepala daerah setingkat gubernur, tetapi juga bupati dan wali kota.

Namun, khusus di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pemilihan kepala daerah hanya dilakukan hingga tingkat kabupaten atau kota, tanpa melibatkan pemilihan gubernur, karena ada regulasi sendiri mengenai pemimpin provinsi DIY.

Mengapa di DI Yogyakarta tidak ada pemilihan gubernur?

DIY tidak mengadakan pemilihan gubernur karena kedudukannya sebagai daerah istimewa berdasarkan sejarah dan undang-undang.

Status istimewa ini berasal dari kesepakatan historis pasca-kemerdekaan, ketika Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman secara sukarela bergabung dengan Republik Indonesia.

Saat Indonesia merdeka, Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII satu suara mendukung penuh kemerdekaan Indonesia dan menyatakan bersedia bergabung dengan wilayah Indonesia.

Pesan yang disampaikan melalui telegram kepada Presiden Soekarno ini direspon dengan penandatanganan piagam kedudukan bagi daerah Yogyakarta pada 19 Agustus 1945.

Bentuk dukungan HB IX dan PB VIII dipertegas dengan amanat 5 September 1945.

Secara terpisah amanat HB IX dan PB VIII memiliki isi kurang lebih sama yakni baik Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat maupun Nagari Paku Alaman yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.

Amanat 5 September 1945 itu ditulis oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Ada tiga poin yang diutarakan dengan menggunakan bahasa Jawa. Berikut isinya, menyadur dari Kompas.com dari arsip perpustakaan Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta:

1. Bahwa Negeri Ngajogyokarto Hadiningrat, jang bersifat Keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia. (Keraton Yogyakarta yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Indonesia)

2. Bahwa Kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogyokarto Hadiningrat dan oleh karena itu, berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogyokarto Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami pegang seluruhnya. (Bahwa kami, sebagai kepala daerah, memegang segala kekuasaan di Yogyakarta. Oleh karena itu, pemerintahan di Yogyakarta dan kekuasaan lain berada di tangan kami).

3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogyokarto Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik indonesia bersifat langsung dan Kami bertanggungdjawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia. (Bahwa hubungan Yogyakarta dengan pemerintah pusat bersifat langsung dan kami bertanggung jawab atas Yogyakarta langsung pada Presiden Republik Indonesia)

Pengakuan Yogyakarta sebagai daerah istimewa tercantum dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta.

UU ini menetapkan wilayah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Pakualaman setingkat provinsi dan menyandang sebagai daerah istimewa.

Payung hukum ini juga mengatur hal keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta hingga hak pengelolaan perusahaan daerah.

Namun, seiring berjalannya waktu, ada sejumlah polemik terkait penetapan kepala daerah yang berimbas kepada situasi di Yogyakarta.

Sebelum reformasi, posisi kepala daerah istimewa diatur oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948.

UU itu menyatakan bahwa kepala daerah istimewa diangkat oleh presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa. Kriteria kepala daerah dinilai dari aspek kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan sesuai adat istiadat di suatu daerah.

Selanjutnya, pada tahun 1957 peraturan berubah, kepala daerah istimewa diangkat dari kandidat yang diusulkan DPRD berdasarkan keturunan keluarga berkuasa. Khusus daerah tingkat I, presiden memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan kepala daerah istimewa.

Bisa dibilang, sejak merdeka, berbagai peraturan terkait kepala kepala daerah di Yogyakarta telah dikeluarkan pemerintah, berbagai peraturan tersebut berbunyi senada yakni menetapkan raja dari Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman sebagai gubernur dan wakil gubernur.

Setelah reformasi, Amandemen UUD 1945 pada Sidang Umum MPR 18 Agustus 2000 membawa dampak panjang khususnya bagi DIY.

Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 menegaskan bahwa Gubernur, Bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

Peraturan ini, tentu saja, bertentangan dengan peraturan keistimewaan Yogyakarta yang tertuang pada UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Pada penjelasan Pasal 122 disebutkan keistimewaan Yogyakarta salah satunya adalah pengangkatan gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta, dan wakil gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam.

Peraturan terkait pemerintahan di Yogyakarta diperbarui dalam UU Nomor 32 tahun 2004.

Undang-undang ini menyebut pemerintahan Yogyakarta masih mengacu pada UU Nomor 22 tahun 1999.

Pada Pasal 225 UU Nomor 32 tahun 2004 juga ditegaskan daerah-daerah yang memiliki status istimewa diberikan otonomi khusus. Daerah-daerah tersebut meliputi Daerah Khusus Ibukota, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan Provinsi DIY.

Untuk kembali memperkuat posisi keistimewaan DIY setelah reformasi, UU Nomor 13 Tahun 2012 kemudian disahkan.

Regulasi ini keluar menyusul polemik masa jabatan gubernur DIY yang tidak terakomodir dalam UU Nomor 32 tahun 2004 yang hanya memperbolehkan setiap warga menjadi kepala daerah dalam dua kali masa jabatan yang sama.

Pada UU Nomor 13 Tahun 2012, jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY dipertegas dalam Pasal 18 Ayat 1A yang secara tidak langsung mempersempit ruang bagi calon gubernur dan wakil gubernur DIY.

Syarat utama untuk menjadi gubernur dan wakil gubernur DIY adalah calon harus bertakhta sebagai sultan (gubernur), atau adipati (wakil gubernur).

Berikut bunyi Pasal 18 Ayat 1A UU Nomor 13 Tahun 2012:

“… bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk Calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur”

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan mengapa di DI Yogyakarta tidak ada pemilihan gubernur lantaran Gubernur dan Wakil Gubernur akan diisi oleh Sultan dan Adipati yang bertakhta secara turun temurun.

Meski begitu, calon gubernur dan wakilnya wajib memenuhi syarat yang telah ditetapkan pusat. (ard)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved