Membedah Persampahan di Kota Yogya, Keterbatasan Lahan dan Perlunya Perubahan Pola Pikir Publik
Berbagai upaya yang sudah ditempuh Pemkot Yogya pun tidak kunjung memuaskan warga masyarakat, yang terus mendesak kata tuntas.
Penulis: Azka Ramadhan | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Permasalahan sampah seakan menjadi momok mengerikan bagi Kota Yogya, yang tidak kunjung dapat ditaklukkan.
Berbagai upaya yang sudah ditempuh Pemkot Yogya pun tidak kunjung memuaskan warga masyarakat, yang terus mendesak kata tuntas.
Guru Besar Fakultas Teknik Kimia UGM, Prof Chandra Wahyu Purnomo, mengatakan, masalah pertama di Kota Yogya adalah sistem pengelolaan sampahnya yang berbasis pada depo.
Artinya, masyarakat bisa membawa sampahnya sendiri ke depo-depo itu, sekaligus memungkinkan warga luar kota ikut 'nimbrung'.
"Pengetatan dengan menunjukkan KTP tetap tidak menghindarkan sampah dari daerah lain masuk ke depo. Itu menjadi masalah," katanya, di sela FGD Strategi Komunikasi Publik tentang Pengelolaan Sampah, di Balai Kota Yogya, Kamis (21/11/2024).
Sialnya, tidak selamanya kuota di depo-depo yang tersebar di seluruh kemantren (kecamatan) itu siap sedia untuk menerima pembuangan sampah dari masyarakat.
Sehingga, ketika depo penuh, atau berhenti beroperasi karena suatu kendala, muncul titik-titik pembuangan liar yang belakangan marak dikeluhkan.
"Melihat deponya penuh atau sedang tidak beroperasi, masyarakat lantas membuangnya di sungai atau lokasi-lokasi lain," cetusnya.
Namun, ia menyadari, masalah sampah sangatlah kompleks dan perlu ditekankan peran semua pihak, tidak hanya pemerintah kota saja.
Karena itu, kalangan swasta, seperti hotel, restoran, bahkan perguruan tinggi di Kota Yogya, seharusnya bisa mengolah sampahnya sendiri.
"Secara akademis, pola ideal itu masyarakat memilah antara organik dan residu. Sampah anorganik yang bisa terjual, kan ada pengepulnya," katanya.
Baca juga: Pemkot Yogyakarta Datangkan Dua Mesin Pembakar Sampah, Bisa Dioperasikan dalam Waktu Dekat
"Jadi, yang masuk ke sistem pengolahan sampah pemerintah daerah hanya dua saja, organik yang susah diolah dan residu saja," urai Chandra.
Kabid Pengelolaan Persampahan DLH Kota Yogya, Ahmad Haryoko, menambahkan, edukasi 'buanglah sampah pada tempatnya' dewasa ini sudah tidak relevan lagi.
Sebab, dengan kondisi sekarang, sampah tidak bisa hanya sekadar dibuang, karena terbukti menimbulkan problem sosial yang sangat serius.
"Edukasinya harus beralih ke 'pilahlah sampah sesuai dengan jenisnya'. Tapi, mengubah pikiran, perilaku dan kebiasaan itu tidak mudah," jelasnya.
"Ini pekerjaan kita bersama, bahwa ternyata kalau perlakuan kita terhadap sampah tidak berubah, ya tidak akan selesai itu masalah," tambah Haryoko.
Dijelaskan, permasalahan sampah di Kota Yogya bermula dari penutupan TPA Piyungan, di mana gonjang-ganjing terasa sejak kisaran 2023.
Pukulan telak lantas menghantam ketika muncul keputusan pengolahan sampah di DIY harus dilakukan secara desentralsasi, yang akhirnya memicu konflik persampahan, terutama di Kota Yogya.
"Kondisi kita belum siap 100 persen, karena tidak punya lahan, hampir seluruhnya permukiman. Apalagi, menurut UU, tempat pengolahan sampah minimal 500 meter dari permukiman," jelasnya.
Padahal, potensi sampah harian yang diproduksi di Kota Yogya dan harus diolah mencapai 300 ton, baik jenis organik maupun anorganik.
Dari jumlah tersebut, pihaknya menyiapkan pengolahan di hilir sekitar 200 ton, kemudian yang 100 ton didorong untuk diolah di hulu atau sumbernya.
"Sehingga sosialisasi dan edukasi terus dilakukan terhadap sumber-sumber penghasil sampah. Kita cegah jangan sampai 100 ton masuk ke area pengolahan," terangnya.
Sementara di hilir, Pemkot Yogya menyiapkan unit-unit pengolahan sampah di tiga titik sekaligus, yang berlokasi di Karangmiri, Nitikan dan Kranon.
Ketiganya menggunakan mesin RDF (Refused Derived Fuel), supaya sampah yang diolah tidak sekadar habis, tapi juga menghasilkan nilai ekonomi.
"Kami upayakan ketiga lokasi ini bisa mengolah di atas 100 ton per hari. Nanti, kami juga akan maksimalkan lahan pinjaman di Piyungan," cetusnya.
Sementara itu, terkait retribusi pembuangan sampah di depo yang belakangan ramai dibicarakan, Haryoko menegaskan, masih sebatas kajian.
Menurutnya, pemerintah ingin menghadirkan rasa keadilan, di mana warga membayar retribusi berdasar volume sampah yang dibuangnya.
"Kalau sampah yang dibuang sedikit, ya bayarnya murah. Tapi, kalau buangnya banyak, apalagi tidak dipilah, ya mahal," pungkasnya. (*)
Perkuat Layanan Kependudukan, Komisi A DPRD Kota Yogyakarta Dorong Perluasan Unit ADM |
![]() |
---|
Pemkot Semarang dan Yogyakarta Perkuat Kerja Sama Budaya lewat Pameran 'Rumah Semarang' |
![]() |
---|
Pemkot Yogyakarta Alokasikan Anggaran Rp89,3 Miliar untuk Penanggulangan Kemiskinan |
![]() |
---|
Angka Kemiskinan Yogya Ditarget Turun Jadi 5,8 Persen di 2025, Fokus 'Babat' 4 Kemantren Prioritas |
![]() |
---|
Tak Terapkan Status KLB, Dinkes Sebut Kota Yogyakarta Waspada Leptospirosis |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.