Gede Urip: Jangan Takut Jadi Petani
Gede Urip memang sosok unik. Pria kelahiran 30 November 1980 ini sejatinya seorang sarjana Akuntansi jebolan Unmer Malang.

Oleh: Basuki, Pendidik, Trainer Kepenulisan dan Penulis Buku Cambridge IGCSE Bahasa Indonesia Coursebook
TRIBUNJOGJA.COM - Meski tengah hari, Desa Adat Gempinis, Kecamatan Selemadeg Timur, Tabanan, Bali, yang terletak pada ketinggian 300-500 mdpl tetap sejuk terjaga.
Apalagi menjelang petang, hembusan angin yang mengelus kulit, membuat tetamu ingin segera menikmati hangat Villa Gempinis ditemani secangkir kopi robusta racikan sang pemilik villa, Ibu Ngurah.
Di villa yang berdiri di lahan berkontur asri menyatu dengan kebun kopi, vanili, kelapa dan kakao ini, saya berbincang akrab dengan petani muda asli Gempinis I Wayan Winarsa yang akrab disapa Gede Urip. Obrolan ditemani Agus Budi Harja, mantan dosen Udayana yang disebut Gede Urip sebagai mentornya.
Gede Urip memang sosok unik. Pria kelahiran 30 November 1980 ini sejatinya seorang sarjana Akuntansi jebolan Unmer Malang. Meski sempat berkutat di industri perbankan, tapi sejak 2014, karier yang diimpikan banyak anak muda ini ia tinggalkan. Gemerlap kota tak mampu memikatnya. Sebab jauh di lubuk hatinya tertambat kuat hasrat kembali memeluk Gempinis, desa kelahirannya lewat dunia pertanian.
Pilihan ayah Ni Luh Masya (12) dan Kadek Bramasta (10) ini memang terbilang melawan arus. Sebab anak muda di tempatnya, setamat pendidikan lazimnya merantau ke ibu kota provinsi, ke kota-kota besar Pulau Jawa, jadi TKI ke luar negeri atau ikut kapal pesiar.
Amatan Gede Urip perihal rendahnya minat generasi muda bekerja di sektor pertanian ini berpadan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut BPS, persentase pemuda usia 16-30 tahun yang bekerja di sektor pertanian semakin merosot. Tahun 2017 ada 20,79 persen, tapi pada 2022 turun menjadi 18 persen .
“Saya mengalami sendiri. Sekarang ini nemukan anak muda yang mau bantu di kebun seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Benar-benar sulit dan penuh perjuangan,” ujarnya.
Tidak hanya minim tenaga kerja, bergerak di bidang pertanian memang perlu totalitas. Gede mengibaratkan merawat tanaman tak ubahnya membesarkan anak sendiri. “Kita harus mengenali karakter, kondisi, pengaruh musim dan perubahan-perubahan yang menyertainya. Jika kita cuma menanam tanpa merawat, suatu ketika bisa terkaget saat melihat tanaman mati terserang hama dan kita terlambat menolongnya,” urai suami Putu Mellayani ini gamblang.
Serupa yang terjadi pada manusia, penyakit pada tanaman bisa bermutasi. Varian hamanya pun tak sedikit. Beberapa jenis penyakit yang acap menyerang tanaman kakao misal, ada kanker batang, upas, belang daun, tunas bengkak, gangguan akar, penyakit sapu, penyakit vascular streak dieback, dan penyakit busuk buah.
Di Gempinis dan sekitarnya, secara kasat mata penyakit kakao yang banyak dijumpai yakni penyakit busuk buah. Jika kakao terserang penyakit ini, buah menjadi busuk dalam waktu 14-22 hari dan warnanya berubah hitam. Penyakit ini diakibatkan jamur phytophthora palmivora, sejenis jamur yang dapat mempertahankan hidupnya dalam tanah selama bertahun-tahun.
“Kakao di kebun saya juga pernah terkena penyakit busuk buah. Tapi Pak Agus Budi Harja, mentor saya, mengajari untuk menyembuhkan kakao yang demikian, kuncinya ada pada tanah. Jadi tanahnya harus disehatkan terlebih dahulu. Alhasil, kakao saya dan teman-teman petani yang mengikuti saran Pak Agus, tumbuh sehat dan menghasilkan buah kelas mutu satu,” ujarnya sumringah.
Sebagai petani, kata Gede, kita bisa juga mengelola tanaman dengan sistem tumpang sari, yakni menanam dua atau lebih jenis tanaman secara bersamaan atau hampir bersamaan pada area pertanian yang sama.
Jadi, selain terus terbuka, mau belajar mengikuti perkembangan zaman, petani sedikit-sedikit perlu belajar manajemen. Dengan tata kelola yang tepat, petani juga bisa memiliki penghasilan harian bahkan deposito.
“Harian, bisa kita dapat dari menanam cabe. Mingguan, kakao. Bulanan, pisang. Semesteran, kelapa. Tahunan, kopi. Deposito dari menanam vanili. Dari sini, sebagai petani saya bisa menghidupi keluarga, menyekolahkan anak, bahkan menabung. Karena itu, jangan takut jadi petani,” ujar Gede mantap penuh syukur.
Sepuluh tahun bergelut dalam bidang pertanian membuat Gede Urip semakin teguh pada pilihannya. Selain bisa menemani langsung tumbuh kembang buah hati, Gede juga bisa membaktikan dirinya, ngayah alias kerja bakti sebagai penyarikan (sekretaris) di desanya. Tidak hanya itu, ia juga bisa menyumbangkan pikirannya dengan terlibat dalam pembentukan awig (hukum), serta mencatat semua kegiatan masyarakat adat.
Masih banyak yang ingin dilakukan Gede bersama para petani di desanya. Membuka kesadaran mereka dengan menerapkan budidaya, pemanenan, penanganan pascapanen yang sesuai dengan standar operasional prosedur; menghubungkan petani dengan pengusaha; termasuk meningkatkan literasi ekonomi dan hukum merupakan sebagian mimpinya.
“Yang terakhir ini sangat penting. Tanpa perlindungan hukum, tanah kita bisa jatuh ke tangan orang asing. Jika ini terjadi, maka pelaksaan Tri Hita Karana dan angan Bali yang jagathita alias sejahtera, makmur dan bahagia, muskil terwujud,” imbuhnya.
Agus BH: Percaya Tabur Tuai
Agus Budi Harja aslinya pensiunan dosen Agama Kristen di Universitas Udayana Bali. Pria kelahiran Solo, 28 Agustus 1962 ini menceburkan diri di dunia pertanian lebih karena dorongan hati. Ia merasa trenyuh melihat petani Indonesia yang rata-rata masih berpenghasilan rendah. Menurut BPS, pada 2021, sejumlah 72,19 persen petani kita tergolong petani skala kecil dengan pendapatan bersih rata-rata Rp 5,23 juta per tahun.
Keprihatinan suami Wardani Mumpuni ini makin bertambah manakala menyaksikan petani yang tertimpa musibah. Sudah jatuh tertimpa tangga. Tidak hanya gagal panen, sering mereka direkomendasikan pihak-pihak tertentu membeli pupuk atau obat yang tak murah harganya. Untung kalau memberi solusi, tak jarang berbagai produk pupuk dan insektisida ini tak membawa hasil dan membuat petani makin terkuras kantongnya.
Persis yang dialami Nyoman Seriartama (43). Budidaya padi organik milik Nyoman atau yang biasa disapa Carik ini gagal total. Padahal umumnya setelah 50-60 hari pasca fase vegetatif, padi akan memasuki fase generatif. Pada fase ini, pertumbuhan reproduksi seharusnya sudah dimulai. Tapi padi milik Carik yang sudah berumur 70 hari tidak tumbuh maksimal. Sebagian memang berbunga dan ada yang berbuah. Tapi buahnya kecil-kecil dan tidak banyak. Batangnya pun kurus-kurus.

Melihat kondisi ini, Agus menawarkan bantuannya. “Padi Bapak ini pasti gagal. Ganti saja dengan padi yang baru. Saya akan bantu dengan cara menyehatkan tanahnya terlebih dahulu. Pupuk nanti saya sediakan. Pokoknya, saya akan dampingi Bapak secara rutin sampai Bapak berhasil,” ujar Agus.
Agus tidak pernah ingkar. Meski domisilinya cukup jauh, Malang, Jawa Timur tepatnya, jika sudah berjanji ia akan menepati. Itulah yang dilakukan Agus kepada Gede Urip dan yang lain. Agus mendampingi Gede sejak lima tahun lalu dan itu terus ia lakukan hingga sekarang.
Gede kini sudah sangat mahir dalam urusan kakao. Karena keahliannya, Oktober 2024 lalu, Gede diajak sang Mentor membantu memperbaiki pohon kakao yang rusak di Distrik Arso, Kabupaten Keerom, Jayapura, Papua.
“Gede ini hebat. Murah hati dan ringan tangan. Siapa saja yang sedia belajar, pasti akan dibantu,” pujinya.
Agus memang tidak hanya mengajari petani binaannya melulu soal dunia tanam-menanam. Ia juga membekali mereka dengan kehidupan. Ayah Grace Permata Hati (26) dan Gracia Amethyst Christi (19) memberi teladan, yakni membantu tanpa meminta imbalan. Semua gratis.
“Nasihat saya sederhana. Jika berhasil, mereka juga tidak boleh pelit ilmu. Di Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang misalnya, ada 3 petani binaan: Suparman, Jumanto dan Ngatiran. Ketiganya tidak hanya berhasil sebagai petani kakao, tapi juga dihubungkan dengan pabrik sehingga dapat harga bagus.
Mereka juga merangkap sebagai pengepul. Saya bilang, mereka harus kasih harga ke petani yang terbaik. Kalau sampai saya dengar ada petani ngeluh kamu nekan harga, maka kerja sama bisa saya hentikan,” tegasnya.
Agus percaya hukum tabur tuai. Ia tahu ada beberapa petani yang dibantunya tidak jujur. Ada yang memanipulasi data demi keuntungan diri sendiri. Mereka pinjam bank dan setelah dana turun, uang dimakan sendiri.
“Cepat atau lambat orang pasti tahu, dan kalau orang tahu, pasti dia tidak akan dihargai. Orang yang tidak jujur akan menutup jalannya sendiri,” katanya.
Sama seperti Gede, Agus menghimbau agar generasi muda tidak ragu menekuni dunia pertanian. Katanya, “Ini sektor yang tahan banting. Buktinya? Di tengah krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 lalu, sektor inilah yang tetap tumbuh positif dan bahkan bisa menjadi penyumbang tertinggi bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Karena itu, jangan ragu masuk dunia pertanian. Jadi petani itu keren!” (*)
Petani Muda Jogja Menjawab Isu Krisis Regenerasi Petani di Indonesia |
![]() |
---|
Nyawa Dibayar Nyawa, Petani di Sukabumi Tewas Digigit King Kobra, Si Ular Juga Mati |
![]() |
---|
Produksi Cabai Kulon Progo Diklaim Masih Aman Meski Harga Sedang Melambung Tinggi |
![]() |
---|
Ide Kreatif Petani Gunungkidul, Ciptakan 'Sawah Rosok' Sebagai Metode Tanam Padi dari Bahan Bekas |
![]() |
---|
Hasil Panen Minim, Harga Cabai Merah Keriting di Tingkat Petani Kulon Progo Tembus Rp40 Ribu Per Kg |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.