Disnakertrans DIY Tegaskan Belum Ada Regulasi Baru Terkait Upah Minimum 2025

Ratnawati menekankan bahwa upah merupakan hak pekerja yang dihasilkan dari hubungan kerja antara karyawan dan perusahaan.

|
Penulis: Hanif Suryo | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO
Diskusi publik bertajuk Penetapan Upah Minimum: Mencapai Keadilan Sosial Melalui Upah Layak yang digelar di Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Rabu (23/10/2024). 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kepala Seksi Pengupahan dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY, Ratnawati, S.H., menjelaskan bahwa hingga saat ini belum ada regulasi baru dari pemerintah terkait penetapan upah minimum untuk tahun 2025.

Hal ini menjadikan UU No. 6 Tahun 2023 dan UU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai acuan utama.

“Regulasi yang ada saat ini masih mengacu pada aturan-aturan sebelumnya, termasuk UU No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Ini menunjukkan betapa pentingnya pemahaman tentang hak dan kewajiban sebagai pekerja, terutama bagi mahasiswa yang kelak akan memasuki dunia kerja,” kata Ratnawati dalam diskusi publik bertajuk "Penetapan Upah Minimum: Mencapai Keadilan Sosial Melalui Upah Layak" yang digelar di Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Rabu (23/10/2024).

Ratnawati menekankan bahwa upah merupakan hak pekerja yang dihasilkan dari hubungan kerja antara karyawan dan perusahaan.

“Upah ini timbul berdasarkan perjanjian kerja, yang harus memenuhi tiga unsur utama: adanya upah, perintah dari atasan, dan pekerjaan yang disepakati. Ketiga unsur ini adalah landasan adanya hubungan kerja yang sah,” jelasnya.

Dalam konteks kebijakan pengupahan, Ratnawati menguraikan bahwa pendapatan pekerja tidak hanya berasal dari upah pokok, tetapi juga dapat mencakup komponen lain seperti Tunjangan Hari Raya (THR) dan insentif.

 “Perusahaan wajib memberikan THR sesuai dengan ketentuan, dan penting bagi pekerja untuk memahami bahwa komponen-komponen ini adalah bagian dari keseluruhan paket remunerasi,” tambahnya.

Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah adanya kesalahpahaman terkait fasilitas kerja. Ratnawati menjelaskan bahwa beberapa pekerja sering kali menganggap uang pengganti fasilitas, seperti kendaraan, sebagai bagian dari upah utama.

“Sangat penting bagi pekerja untuk memahami bahwa fasilitas kerja adalah tambahan, bukan bagian dari komponen upah pokok. Pemahaman ini harus tercermin dalam perjanjian kerja yang jelas,” katanya.

Baca juga: Kasatpol-PP DIY Dorong Peran Aktif Jaga Warga Kawal Pengamanan Pilkada 2024 di Kulon Progo

Ratnawati juga menyoroti pentingnya kesetaraan dalam pengupahan, tanpa membedakan antara pekerja laki-laki dan perempuan.

“Setiap pekerja berhak atas kehidupan yang layak. Ini termasuk memastikan bahwa upah minimum yang diterima oleh laki-laki dan perempuan yang melakukan pekerjaan yang sama adalah setara,” ujarnya.

Kebijakan pengupahan di Indonesia, lanjutnya, ditetapkan oleh pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah bertugas untuk melaksanakan dan mengikuti regulasi tersebut.

“Kami di pemerintah daerah berkomitmen untuk mengikuti kebijakan strategis nasional mengenai pengupahan. Hal ini termasuk penetapan upah minimum, struktur upah, serta ketentuan tentang lembur dan cara pembayaran upah,” jelas Ratnawati.

Lebih lanjut, Ratnawati menjelaskan bahwa upah minimum berfungsi sebagai jaring pengaman bagi pekerja berkemampuan rendah, terutama mereka yang baru memasuki dunia kerja.

“Upah minimum ditetapkan untuk melindungi pekerja agar tidak dibayar di bawah standar yang ditetapkan. Ini adalah langkah awal untuk memastikan kesejahteraan mereka,” tegasnya.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved