Mubeng Kampus Jogja

CfDS UGM: Isu Personal Tokoh Publik yang Langgar Norma Bisa Tarik Perhatian Rakyat Kawal Demokrasi

Keterlibatan masif masyarakat dalam mengawal isu Darurat Demokrasi mendapat pengaruh yang signifikan dari perkembangan teknologi digital.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
Istimewa
Diskusi CfDS UGM di BRI Work Fisipol UGM dengan tajuk Darurat Demokrasi: Ketika Batas Etika Publik Dilanggar, Jumat (6/9/2024) 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Melihat kembali peristiwa demonstrasi yang menuntut revisi Undang-Undang Pemilihan Daerah pada 22 Agustus 2024 kemarin, penggunaan media sosial dinilai menjadi platform yang kuat untuk menyalurkan aspirasi publik, memungkinkan aktivisme berkembang dalam bentuk baru yang lebih luas.

Namun, media sosial juga sekaligus justru dapat menjadi media bagi manipulasi informasi, penyebaran kontra-narasi yang terorganisir, dan upaya-upaya tersembunyi untuk membentuk opini publik secara tidak etis.

Untuk mengupas permasalahan ini lebih lanjut, Center for Digital Society (CfDS) berkolaborasi dengan Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) UGM serta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM mengadakan diskusi publik bertajuk Darurat Demokrasi: Ketika Batas Etika Publik Dilanggar.

Acara ini dilaksanakan secara luring di BRI Work Fisipol UGM dengan mengundang Dian Fatmawati, S.IP., M.A. (Dosen PSdK UGM), Perdana Karim (Peneliti CfDS UGM), Pratiwi Yudha Miranti (BEM KM UGM) sebagai narasumber dan dimoderatori oleh Dr. Arie Ruhyanto, M.Sc. (Dosen DPP Fisipol UGM), Jumat (6/9/2024).

Perdana Karim membuka diskusi publik dengan menyoroti bagaimana isu-isu personal dapat menjadi pintu masuk bagi para aktivis untuk terlibat dalam peristiwa Darurat Demokrasi.

Melalui riset yang dilakukan oleh CfDS, terlihat bahwa perhatian masyarakat terhadap isu-isu personal yang melibatkan tokoh publik, seperti gaya hidup mewah atau kebiasaan mengkonsumsi makanan mahal, mampu menarik partisipasi luas.

Hal ini terjadi ketika perilaku tokoh publik dianggap melanggar norma atau moral yang dirasakan oleh masyarakat sebagai bentuk ketidakadilan.

Seperti apa yang diutarakan oleh Perdana Karim, “Ketika isu personal menjadi sorotan, ada norma atau moral yang dilanggar oleh tokoh publik dan mencederai perasaan publik secara luas. Saat itulah masyarakat mulai banyak tertarik dan berpartisipasi secara masif pada isu kelembagaan, dalam konteks ini isu Darurat Demokrasi,” katanya.

Perdana menambahkan bahwa keterlibatan masif masyarakat dalam mengawal isu Darurat Demokrasi ini juga mendapat pengaruh yang signifikan dari perkembangan teknologi digital.

Media digital, seperti media sosial, melalui berbagai fitur dan sistem algoritmanya memainkan peran dalam membentuk narasi publik, membangun solidaritas dari berbagai elemen masyarakat, hingga menciptakan efek bola salju yang memobilisasi massa lebih luas.

Menanggapi hasil riset yang dipaparkan sebelumnya, Dian Fatmawati berpendapat bahwa bentuk demonstrasi masyarakat pada isu ini merupakan akumulasi keresahan sekaligus kegelisahan masyarakat terhadap lembaga pemerintah.

Berbagai peristiwa yang dianggap mencederai hak-hak rakyat, seperti isu ketimpangan sosial, kesenjangan ekonomi, ketidakadilan hukum, hingga pelanggaran terhadap prinsip-prinsip demokrasi berkembang menjadi sinisme yang memicu mobilisasi massa yang lebih besar untuk mengawal isu Darurat Demokrasi. 

“Sinisme yang berkembang ini adalah refleksi dari kekecewaan mendalam masyarakat yang akhirnya membentuk kemarahan publik secara kolektif,” Dian menambahkan.

Pratiwi Yudha turut memperkaya sesi diskusi dengan menyampaikan perspektifnya sebagai mahasiswa.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved