Pusat Studi Energi UGM: Hidrogen Bisa jadi Energi Alternatif Pengganti Fosil, Tak Hasilkan Emisi CO2
Hidrogen dianggap mendorong revolusi berbagai sektor mulai dari bahan bakar untuk kendaraan hingga industri
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Hari Susmayanti
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Unsur kimia hidrogen dianggap bisa menjadi alternatif pengganti energi fosil.
Proses pembentukan energi hidrogen tidak menghasilkan emisi langsung, karena bahan bakunya berasal dari sumber terbarukan seperti air, surya, angin, atau biomassa.
Saat digunakan sebagai bahan bakar, hidrogen hanya menghasilkan air dan panas sebagai produk sampingan, tanpa meninggalkan jejak karbon yang merugikan lingkungan.
Hidrogen dianggap mendorong revolusi berbagai sektor mulai dari bahan bakar untuk kendaraan hingga industri dalam memenuhi kebutuhan energi yang lebih hijau.
Untuk itu, Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) berkolaborasi dengan University of Groningen Belanda menggelar summer course bertajuk Hydrogen's Role in Energy Transition: Perspective and Challenges pada 19-23 Agustus 2024 di Engineering Research and Innovation Center (ERIC) Fakultas Teknologi UGM.
Agenda terbagi menjadi beberapa sesi di antaranya presentasi, diskusi panel, dan workshop.
Dalam kesempatan tersebut, berbagai pakar energi terbarukan dari dalam dan luar negeri juga hadir guna memperkuat pemahaman mengenai pentingnya hidrogen kepada masyarakat umum, sebagai energi alternatif dalam transisi menuju sistem energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.
“Masa depan dunia itu ada di green hydrogen. Kenapa migrasi ke hidrogen? Karena di dunia internasional memang sedang berupaya mengurangi emisi karbon karena adanya kenaikan suhu bumi melebihi 1,5 derajat Celcius. Maka, perlu menjadikan alam semesta berada di situasi emisi nol,” jelas Kepala Pusat Studi Energi UGM, Prof. Dr. Ir. Deendarlianto, S.T., M.Eng., dalam konferensi pers di ERIC FT UGM, Senin (19/8/2024).
Baca juga: Mahasiswa KKN UGM Gelar Pesta Rakyat di Daerah Transmigran Kapuas Kalimantan Tengah
Dia menjelaskan, adanya tuntutan untuk menurunkan suhu bumi dari ambang maksimal 1,5 derajat Celcius membuat banyak negara mencari energi baru terbarukan (EBT).
Masing-masing negara, kata dia, memiliki target sendiri. Di Eropa misalnya, target nol emisi bisa tercapai pada 2040-2050. Sementara, Indonesia menargetkan nol emisi pada 2060.
“Saat ini, kalau dari sisi pembangkit listrik, lebih dari 60 persen dibangkitkan batubara. Ada juga dari gas dan lain sebagainya,” paparnya.
Deendarlianto mengungkap, Indonesia juga menghadapi era baru transisi energi, termasuk memanfaatkan biomassa.
“Semua masih mengembangkan hidrogen semurah mungkin, seaman mungkin. Dari segi fisik, hidrogen ramah massa, efisiensinya besar. Kalau dibakar, hidrogen tidak punya emisi karbon dioksida (CO2), tentu ada efek pengurangan emisi,” ungkapnya.
Dia menambahkan, dengan pengembangan hidrogen sebagai EBT, nantinya akan ada pekerjaan-pekerjaan hijau baru yang bisa dikerjakan dan menciptakan konsep ekonomi hijau.
Sementara, Prof. Dr. Aravind P. Vellayani dari University of Groningen Belanda menjelaskan sejumlah negara optimis untuk mengembangkan hidrogen sebagai EBT.
Di Groningen, kota yang berada di kawasan timur Belanda, dulunya menjadi daerah perekonomian berbasis energi.
Groningen pernah menjadi daerah penghasil gas alam terbesar di Eropa. Namun kemudian, adanya eksploitasi gas alam di Groningen menyebabkan bencana alam.
Kupas Tuntas Mineral Strategis, Prof Sarjiya UGM Ungkap Peluang & Tantangan RI Menuju Energi Bersih |
![]() |
---|
Bahas Energi Hijau: Kepala PSE UGM Soroti Potensi Besar dan Tantangan Indonesia Menuju NZE 2060 |
![]() |
---|
UGM dan Tribun Jogja Sinergi Perkuat Literasi Energi dan Transisi Berkelanjutan |
![]() |
---|
UII Adakan Uji Emisi Kendaraan Bermotor Gratis, Catat Tanggalnya |
![]() |
---|
Ratusan Kendaraan Dinas Pemkab Sleman Jalani Uji Emisi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.