API DIY Sebut Tujuh Perusahaan Tekstil di DIY dalam Kondisi Tak Baik, Dua Perusahaan Kritis

Ia mengungkapkan, kondisi 16 perusahaan tersebut beragam. Ada dua perusahaan yang sedang dalam kondisi kritis.

TRIBUNJOGJA.COM / Suluh Pamungkas
ilustrasi 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyebut ada sembilan perusahaan tekstil di DIY dalam keadaan pontang-panting demi mempertahankan bisnisnya.

Dua di antaranya bahkan dalam keadaan kritis.

Wakil Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan API DIY, Timotius Apriyanto, menyebut, ada 16 perusahaan tekstil berskala menengah dan besar di DIY.

Perusahaan menengah memiliki sekitar 100 karyawan, sementara perusahaan besar memiliki lebih dari 1.000 karyawan.

Semuanya telah beroperasi di atas lima tahun.

Ia mengungkapkan, kondisi 16 perusahaan tersebut beragam. Ada dua perusahaan yang sedang dalam kondisi kritis.

Satu perusahaan merupakan BUMN yang kini telah merumahkan ratusan karyawannya.

Sementara, satu perusahaan lagi mengalami penurunan permintaan hingga 40 persen.

“Kedua perusahaan tersebut berada di Sleman,” ungkapnya, Minggu (14/7/2024).

Ia melanjutkan, sebanyak tujuh perusahaan juga sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja, meskipun tidak separah dua perusahaan di Sleman.

Hal itu karena pengaruh permintaan global yang mengalami penurunan.

Baca juga: Viral Karyawan Pabrik Tekstil di Sleman Curhat Dirumahkan Perusahaan, Nasibnya Terombang-ambing

Sedangkan, tujuh perusahaan lainnya masih dalam kondisi sehat, bahkan berencana untuk ekspansi dan berencana menambah 750 hingga 1.000 karyawan.

Sosok yang akrab disapa Tim itu menerangkan, maraknya produk impor ilegal sangat memengaruhi pasar domestik, termasuk di DIY.

Ia menyebut untuk semester I dampaknya memang belum signifikan, namun semester II akan lebih sulit.

“Maka, produk impor ilegal itu harus dimusnahkan, jangan sampai masuk ke pasaran. Karena, produk dalam negeri menjadi tidak kompetitif. Harga pokok dalam negeri untuk pakaian jadi Rp40.000-50.000, namun di pasaran dijual Rp30.000-35.000, tentu ini tidak kompetitif,” terangnya.

Menurut dia, pemerintah harus melakukan berbagai intervensi.

Mulai dari harmonisasi regulasi, penegakan hukum, insentif kebijakan pemerintah yang perlu dilakukan, utamanya meningkatkan kemudahan berusaha dari sektor perizinan.

“Kami berharap segera ada perbaikan. Situasinya sangat tergantung pada bagaimana pemerintah pusat ikut menyelesaikan persoalan industri TPT. Di sisi lain juga meningkatkan produktivitas dan daya saing industri tekstil di daerah. Dan, harus ada harmonisasi regulasi pemerintah. Kalau tidak begitu, akan semakin banyak IKM (Industri Kecil Menengah) yang akan mem-PHK karyawan,” imbuhnya.

Gaji tak terbayar

PT Primissima adalah satu di antara perusahaan tekstil yang kritis. Sejauh ini ada 425 karyawan yang dirumahkan, termasuk jajaran manajemen dan direksi, karena perusahaan tidak mampu membayar gaji.

“Sebelumnya dibayarkan, tetapi tidak penuh, mulai April 2022. Karena, kami upayakan semua karyawan itu mendapat gaji. Kalau dihitung, ya nilainya sekitar lima bulan gaji. Namun, dua bulan ini memang tidak digaji sama sekali.Tidak hanya karyawan, tetapi manajemen dan direksi juga tidak digaji,” kata Direktur Utama PT Primissima, Usmansyah, diwawancarai Tribun Jogja, Kamis (11/7/2024).

Ia menuturkan sejak 2020 perusahaan berhenti beroperasi karena tidak adanya modal kerja.

Modal kerja utama yang dibutuhkan adalah kapas yang diproses untuk menjadi kain.

Agar dapat menggaji karyawan, mesin yang ada digunakan untuk work order mengerjakan kain dari pihak lain.

Perusahaan hanya menerima sekitar Rp1,2 miliar dari hasil work order.

Sementara, pengeluaran untuk membayar karyawan dan listrik bisa mencapai lebih dari Rp2 miliar.

“Kami mencoba bertahan dan mencari peluang. Akhirnya mulai 1-11 Juni 2024 karyawan libur, gaji penuh. Kalau libur, tetapi gaji penuh, kan berat. Akhirnya dirumahkan secara resmi pada 12 Juni 2024, kami bayarkan gaji 25 persen, namun statusnya terhutang,” tuturnya.

Primissima kini sedang dalam proses penyehatan oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA).

“Dirancang dalam bentuk efisiensi semaksimal mungkin, supaya operasionalnya efisien, mulai dari jam kerja diatur, dan lain-lain.Kedua adalah restrukturisasi hutang-hutang. Kewajiban kami kan banyak, nggak mungkin dibayarkan sekaligus,” katanya. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved