Kasus dan Angka Kematian Akibat DBD di Klaten Bertambah, Ini Kata Sekda Klaten

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Klaten mencatat pada Minggu ke-18 terdapat satu tambahan kasus kematian.

Penulis: Dewi Rukmini | Editor: Muhammad Fatoni
Tribun Jogja/ Dewi Rukmini
Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Klaten, Jajang Prihono. 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Dewi Rukmini

TRIBUNJOGJA.COM, KLATEN - Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, terus meningkat.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Klaten mencatat pada Minggu ke-18 terdapat satu tambahan kasus kematian.

Sehingga total kematian akibat DBD di Klaten pada Minggu ke-18 2024 mencapai 23 kasus. 

Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Klaten, Jajang Prihono, usai menghadiri rapat koordinasi tertutup di Pendopo Pemkab Klaten, Senin (14/5/2024). 

"Pada Minggu ke-18 ada satu tambahan kasus yang meninggal dunia, jadi total ada 23 orang meninggal dunia dengan 477 kasus (positif DBD)," ungkap Jajang kepada Tribunjogja.com.

Baca juga: Seorang Pekerja Migran Asal Klaten Dikabarkan Sakit dan Kritis di Dubai, Ini Kata Sekda Klaten

Menanggapi tingginya kasus DBD di Bumi Bersinar, Jajang menyebut Pemkab Klaten melalui Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Klaten terus melakukan upaya koordinasi dengan seluruh jajaran rumah sakit maupun puskesmas. 

Koordinasi itu meliputi penanganan DBD agar bisa komprehensif, baik yang bersifat rujukan ataupun informasi balik dari rumah sakit ke wilayah. 

"Sehingga begitu rumah sakit menerima pasien yang memang indikasi diagnosanya DBD. Maka informasi itu akan diteruskan ke desa. Supaya desa juga bergerak cepat melakukan tindak lanjut,"  ucapnya.

Menurut Jajang, ada beberapa hal yang menyebabkan kasus DBD di Kabupaten Klaten terus meningkat.

Salah satunya ada terlambat penanganan pertama di tingkat keluarga atau tenaga kesehatan (naskes) karena ketidaktahuan dalam mengenali gejala DBD. Mengingat saat ini ada tambahan gejala baru, semisal diare. 

"Jadi orang panas belum tentu atau tidak dianggap gejala DBD. Sehingga tahunya bukan DBD, tapi setelah beberapa hari masuk masa kritis, baru tahu kalau itu bukan panas biasa atau masuk angin biasa," katanya.

"Akibatnya keluarga terlambat membawa pasien ke faskes (fasilitas kesehatan) dan faskes juga terlambat memberikan penanganan," jelasnya.

Oleh karena itu, pihaknya mencoba mengurai titik-titik keterlambatan itu.

Yakni dengan memasifkan giat sosialisasi terkait gejala DBD kepada masyarakat.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved