Berita DI Yogyakarta Hari Ini

Kirab Trunajaya Digelar Peringati Ulang Tahun Kenaikan Takhta Sri Sultan HB X dan GKR Hemas Ke-35

Kirab Trunajaya disemarakkan oleh penari Beksan Trunajaya dan Bregada Prajurit berkuda Keraton Yogyakarta.

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Gaya Lufityanti
Tribunjogja.com/Hanif Suryo
Memperingati tingalan jumenengan dalem atau hari ulang tahun ke-35 penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan GKR Hemas dalam tahun masehi, digelar Kirab Trunajaya di sepanjang Jalan Malioboro hingga Kagungan Dalem Pagelaran Keraton Yogyakarta , Kamis (7/3/2024). 

TRIBUNJOGJA.COM- Bertepatan tingalan jumenengan dalem atau hari ulang tahun ke-35 penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan GKR Hemas dalam tahun masehi, digelar Kirab Trunajaya di sepanjang Jalan Malioboro hingga Kagungan Dalem Pagelaran Keraton Yogyakarta , Kamis (7/3/2024).

Selain Kirab Trunajaya , dalam peringatan tingalan jumenengan dalem turut digelar rangkaian kegiatan lainnya yakni pembukaan pameran temporer Abhimantrana (8/3), dan Simposium Internasional Budaya Jawa, Sabtu dan Minggu (9-10 Maret 2024).

Adapun Kirab Trunajaya disemarakkan oleh penari Beksan Trunajaya dan Bregada Prajurit berkuda Keraton Yogyakarta.

Selain itu juga diikuti perwakilan 10 desa budaya Disbud DIY dengan jumlah ratusan peserta. Adapun 10 desa budaya tersebut antara lain Kalurahan Budaya Sidoluhur, Parangtritis, Jatimulyo, Terban, Ngeposari, Wonosari, Gedongkiwo, Tamanmartani, Tuksono, dan Mulyodadi.

Penghageng Kawedanan Kridhamardawa yang juga menjabat sebagai Penghageng Kawedanan Kaprajuritan Karaton Yogyakarta, KPH Notonegoro menjelaskan, Beksan Trunajaya merupakan sebuah mahakarya seni tari Yasan Dalem (ciptaan) Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792).

Beksan Trunajaya terdiri dari Lawung Alit, Lawung Ageng, dan Sekar Medura. Peran penari pada Lawung Ageng dan Lawung Alit hampir sama dan menggunakan lawung, yang terdiri dari Botoh, Lurah, Jajar, Ploncon dan Salaotho. Hanya yang membedakan pada adanya adegan seperti layaknya taruhan pada Lawung Alit.

Sedangkan Sekar Medura merupakan puncak dari Beksan Trunajaya, yang dimana menggambarkan pesta setelah latihan dan perlombaan watangan. Gerakan-gerakan Beksan Trunajaya mengandung unsur heroik, patriotik, dan berkarakter maskulin. Dialog yang digunakan dalam tarian merupakan campuran dari bahasa Madura, Melayu, dan Jawa. Dialog tersebut umumnya adalah perintah-perintah dalam satuan keprajuritan.

Baca juga: Kirab Trunajaya Digelar Sore Ini di Malioboro, Berikut Sejumlah Akses Jalan yang Ditutup Sementara

"Sejak tahun 2019, setiap tanggal 7 Maret, kami selalu menampilkan beksan-beksan seperti ini untuk pembukaan pameran. Sewaktu itu (tahun 2019) Beksan Trunajaya hanya ditampilkan sepenggal, yaitu Lawung Ageng saja. Lalu pada tahun 2020 setelah persiapan dan latihan sebetulnya Beksan Trunajaya akan ditampilkan, namun terjadi pandemi sehingga ditunda, hingga akhirnya akan ditampilkan sewaktu Pembukaan Pameran Temporer Abhimantrana, setelah melalui persiapan selama 4 tahun," ungkap Kanjeng Noto.

Beksan Trunajaya terinspirasi dari perlombaan watangan, yakni latihan ketangkasan berkuda dan memainkan tombak yang biasa dilakukan oleh Abdi Dalem Prajurit pada masa lalu. Perlombaan ini dilakukan tiap hari Sabtu atau sering disebut Seton, menggunakan lawung sebagai senjata untuk menjatuhkan lawan dan diadakan di Alun-alun Utara dengan menggunakan Gamelan Kanjeng Kiai Guntur Laut dan Gendhing Monggang.

Selain faktor perlombaan watangan, Beksan Trunajaya dilakukan oleh Bregada Nyutra, bregada terpanjang yang ada di Keraton Yogyakarta. Bregada tersebut dibagi menjadi beberapa seksi, yakni Tambak Boyo, Waning Boyo, Waning Pati, Sumoatmojo dan Trunajaya. Masing-masing seksi tersebut memiliki dan menggunakan senjata yang berbeda-beda. Secara khusus, permainan watangan dimainkan dengan seksi prajurit paling akhir, yakni Trunajaya yang menggunakan senjata lawung.

"Karya ini diciptakan Sri Sultan Hamengku Buwono I yang bercerita tentang pertarungan watangan olahraga prajurit. Tapi ketika disaksikan, terlihat sekali bagaimana beksan ini menggugah semangat keberanian prajurit terutama pada waktu itu untuk melawan penjajah," terang Kanjeng Noto.

Pameran Abhimantrana, Upacara Adat Keraton Yogyakarta

Sebagai agenda tahunan dalam rangka Mangayubagya Tingalan Jumenengan Dalem (Peringatan Kenaikan Takhta) Sri Sultan Hamengku Bawono Ka-10 dan GKR Hemas, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat Kembali menggelar pameran awal tahun. Tahun 2024 ini pameran temporer mengambil tajuk Abhimantrana, Upacara Adat Keraton Yogyakarta.

Keraton Yogyakarta sebagai penerus Dinasti Mataram terus melestarikan berbagai upacara adat. Selain sebagai penanda kekuasaan, upacara adat berfungsi pula untuk memperingati hari besar keagamaan, rangkaian upacara daur hidup, upacara yang bersifat keseharian, seperti patuh padintenan. Pada masa kolonial, keraton juga kerap menggelar upacara yang bersifat politis, seperti tedhak lodji, agustusan, hingga pisowanan ageng. Adapun teknis pelaksanaan pameran ini berada di bawah koordinasi Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Nitya Budaya.

Pameran ini menjadi sajian dari pelbagai upacara adat yang digelar di Keraton Yogyakarta, terutama yang berkaitan dengan fase daur hidup dari Manusia Jawa. Upacara adat dilakukan untuk memohon keselamatan dan keberkahan yang lebih luas.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved