Berita DI Yogyakarta Hari Ini

Kepala BKKBN Dorong DIY Lakukan Pencegahan Stunting Berbasis Budaya

DIY memiliki program penanganan stunting yang baik, bahkan masuk 5 provinsi terbaik nasional.

Penulis: Christi Mahatma Wardhani | Editor: Gaya Lufityanti
istimewa
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo dan Ketua Komisi A DPRD DIY, Eko Suwanto dalam Podcast Ngobrol Parlemen, Rabu (07/02/2024). 

Laporan Reporter Tribun Jogja Christi Mahatma Wardhani

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pemerintah masih terus kerja keras untuk menekan angka stunting .

Hingga akhir tahun 2022 lalu, angka stunting nasional tercatat masih 21,6 persen.

Sementara DIY, menjadi salah satu provinsi yang memiliki angka stunting yang rendah, di bawah 20 persen. 

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional ( BKKBN ), Hasto Wardoyo mengatakan DIY memiliki program penanganan stunting yang baik, bahkan masuk 5 provinsi terbaik nasional.

Selain DIY, provinsi yang memiliki angka stunting terendah di bawah 20 persen adalah Bali, DKI Jakarta, Lampung, dan Riau. 

"DIY tidak ada kekurangannya, dari ketersediaan makanan ada, tidak ada daerah rawan pangan. Dari ketersediaan SDM juga melimpah, ada banyak Perguruan Tinggi yang bisa dilibatkan. Hanya mindset (pola pikir) yang harus diubah," katanya saat Podcast Ngobrol Parlemen, Rabu (07/02/2024). 

Menurut dia, mengubah mindset bisa dilakukan dengan pendekatan budaya.

Apalagi DIY memiliki anggaran Dana Keistimewaan, yang bisa digunakan untuk menurunkan angka stunting berbasis kebudayaan. 

DIY memiliki banyak tradisi yang relevan untuk transfer nilai. Ia mencotohkan adanya tradisi memperingati empat bulan dan tujuh bulan kehamilan.

Tradisi tersebut bisa disisipi dengan pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil untuk memastikan tumbuh kembang janin sesuai dengan usianya. 

Baca juga: Hasto Wardoyo Ingatkan Makanan Sehat Cegah Stunting, Eko Suwanto Bicara Perhatian Lingkungan

"Misal ada yang memperingati empat bulan atau mitoni (tujuh bulanan), diundang satu kampung atau satu kecamatan. Tradisinya tetap berjalan, tetapi ada disitu ada petugas USG, ada dokter spesialis. Umur empat bulan atau 16 minggu janin harusnya udah bisa bergerak, nah di situ dicek ada yang bermasalah tidak. Kemudian kalau tujuh bulan itu kepalanya sudah di bawah. Di situ juga dicek," paparnya. 

"Ada tradisi tedak siten, biasanya untuk anak sekitar 1 tahun mau jalan. Ini kan bisa melihat perkembangan motorik halus, kasar, bisa pegang bola tidak, bisa membedakan warna tidak. Jadi tidak hanya tradisi, tetapi ada edukasi dan recordingnya. Setelah prosesi adat, ada rapornya. Ada ahli gizi, dokter tumbuh kembang yang ikut, sehingga bisa dilihat bermasalah tidak tumbuh kembangnya," sambungnya. 

Hasto menerangkan ukuran intellectual skill atau kecerdasan yang dicerminkan dengan kemampuan keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan sangat ditentukan oleh kualitas SDM. 

Sementara indikator yang paling dekat untuk mengukur kualitas SDM adalah tinggi badan. Dikhawatirkan, tinggi badan yang kurang sesuai juga mempengaruhi kemampuan intelektualnya. 

"Meskipun pendek itu belum tentu stunting, tetapi kalau stunting pasti pendek. Makanya kita harus menekan stunting, apalagi kita harus memanen bonus demografi. Artinya kualitas SDM harus bagus, maka stunting harus rendah," terangnya. 

Sementara itu, Ketua Komisi A DPRD DIY, Eko Suwanto menyebut pangan bukan menjadi satu-satunya hal yang mempengaruhi angka stunting .

Kondisi lingkungan hidup juga sangat berpengaruh, seperti kualitas air, kualitas udara, dan lainnya. 

"Lahan pertanian di DIY berkurang 250 hektar setiap tahun. Nah yang lahan pertanian pangan berkurangnya 120 hektar per tahun. Nah makanya bisa kita lihat apa akibatnya, akibatnya lingkungan kita nggak bagus. Salah satu indikatorya kualitas air. Di kota Jogja ini termasuk yang buruk," ujarnya. 

Eko mengungkapkan DIY memiliki anggaran khusus untuk penanganan stunting .

Hanya saja perlu berkolaborasi dengan pihak swasta.

Menurut dia, swasta bisa ikut terlibat menangani stunting melalui program tanggung jawab sosial perusahaan. 

Disamping itu, ia juga ingin agar kader posyandu lebih sejahtera.

Sebab kader-kader ini garda terdepan penanganan stunting, yang memiliki catatan lengkap balita di wilayahnya. Dari sisi kelembagaan pun perlu diperjelas, sebab selama ini Posyandu tidak memiliki induk yang kuat. 

"Diperlukan komitmen bersama, APBD sudah ada. Tetapi perlu juga dukungan swasta, dan keterlibatan masyarakat. Pelibatan masyarakat menjadi penting, kemudian baru pengetahuan. Kalau dari lingkungan bagus, makanan cukup, dari sisi pendidikan juga baik, tetapi DIY juga masih punya catatan kemiskinan 11,4 persen. Sehingga pemerintah juga harus menyelesaikan problem kemiskinan, untuk menopang yang lain," jelasnya. ( Tribunjogja.com )

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved