Diskusi Darurat Demokrasi: BEM UGM Nobatkan Jokowi Jadi Alumnus Paling Memalukan 

Presiden Joko Widodo dinobatkan sebagai alumnus paling memalukan. Penobatan itu disematkan Bedan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa, Universitas

Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA.COM/Ahmad Syarifudin
Baliho bergambar wajah Jokowi dinominasikan sebagai alumnus UGM paling memalukan terpampang di depan diskusi publik bertema darurat demokrasi di bundaran UGM, Jumat (8/12/2023). 

Joko Widodo, di akhir masa pemerintahan justru menghendaki perpanjangan kekuasaan laiknya seorang raja Jawa. Tanpa memperhatikan nilai etik. 

"Belum lagi bicara dinasti politik beliau, yang jelas terpampang di depan mata kita. Sehingga saya rasa seperti tadi tidak ada momentum selain sekarang untuk menobatkan beliau sebagai alumnus paling memalukan," kata dia. 

Mimbar diskusi publik di Bundaran UGM ini menghadirkan narasumber Aktivis Hak Asasi Manusia, Fatia Maulidiyanti dan akademisi sekaligus peneliti Hukum Tata Negara Indonesia, Dr. Zainal Arifin Mochtar.

Diskusi ini juga menghadirkan koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) tahun 2010-2016, Haris Azhar. 

Dalam diskusi tersebut, Fatia berbicara tentang indeks demokrasi Indonesia yang mengalami penurunan.

Ia mengawalinya dengan tahun 2014, ketika Presiden Joko Widodo dianggap sebagai new hope karena berangkat dari kebaruan yang tidak memiliki rekam jejak buruk di masa lalu.

Bahkan Jokowi sangat tenar dengan gaya blusukannya dan Nawacita.

Pada saat Pilpres berhasil meraup suara hingga 70 persen di Papua. Namun pada akhirnya, kata Fatia harapan tersebut gugur. 

"Karena mengangkangi semua janjinya. Pada akhirnya, membawa Indonesia mengalami penurunan indeks demokrasi," kata Fatia.

Sementara itu, Akademisi Zainal Arifin Mochtar bicara tentang praktek pemberantasan korupsi yang dinilai jalan ditempat.

Menurut dia, jika disusun maka daftar dosa pemerintah dalam sepuluh tahun terakhir sangat panjang dan lebar.

Satu di antara dosa yang paling kentara adalah masih suburnya praktek KKN dan semakin hilangnya non-konflik kepentingan.

Bisa bayangkan, lanjutnya, di Republik Indonesia, menteri sekaligus pengambil kebijakan dan pada saat yang sama bisa diuntungkan dari kebijakan itu.

"Kalau mau kita lacak siapa yang paling berdosa, maka kita harus menyebutkan nama Jokowi plus partai-partai di belakangnya. Mengapa politik dinasti terjadi, karena dibiarkan oleh partai-partai. Maka kritik kita hari ini kita bebankan separuh ke Jokowi dan separuh lagi ke partai di belakangnya," kata dia.(rif)

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved