Tanggapan UGM Tentang Kebijakan Mendikbudristek Tak Wajibkan Skripsi untuk Syarat Kelulusan
Rektor UGM, Prof Ova Emilia, menyambut baik terkait skripsi yang tidak lagi diwajibkan sebagai syarat kelulusan mahasiswa S1 dan D4.
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Syarat kelulusan mahasiswa sarjana dan pascasarjana di perguruan tinggi yang sebelumnya wajib menggunakan skripsi, tesis, atau disertasi, dihapuskan.
Hal itu disampaikan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim.
Dalam standar nasional pendidikan tinggi tahun 2023 yang diterbitkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), perguruan tinggi mendapat kemerdekaan untuk memberikan tugas akhir kepada mahasiswa program sarjana dan pascasarjana melalui bentuk lain.
Kebijakan itu tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 53 Tentang Penjaminan Mutu Pendidikan sebagai landasan peluncuran Merdeka Belajar Episode 26: Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi.
Pasal 18, 19, dan 20 Peraturan Mendikbudristek tersebut menyatakan, mahasiswa sarjana ataupun sarjana terapan dapat diberikan tugas akhir dalam bentuk selain skripsi, seperti prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lain yang sejenis, baik secara individu maupun kelompok.
Menyikapi kebijakan tersebut, Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Ova Emilia, menyambut baik terkait skripsi yang tidak lagi diwajibkan sebagai syarat kelulusan mahasiswa S1 dan D4.
Menurutnya, kebijakan ini juga bisa mengurangi praktik joki skripsi dan melonggarkan aturan di kampus.
Hal tersebut menjadi penting lantaran ada ribuan kampus di Indonesia yang bervariasi.
"Kita punya lebih dari 4 ribu perguruan tinggi di Indonesia dengan variasi yang sangat lebar. Sehingga jangan sampai mungkin, kalau kita bilang skripsi karena itu diwajibkan, terus ada usaha membuatkan skripsi (joki) itu kan enggak ada gunanya akhirnya,” kata Ova.
Adanya praktik perjokian itu, dikatakan Ova, membuat skripsi sebagai tugas akhir hanya menjadi formalitas dan bukan sebuah karya.
Ia menerangkan, adanya kebijakan pelonggaran tersebut tidak mengurangi mutu mahasiswa, tetapi juga tidak mengekang kampus.
Ova menyebut, kebijakan itu bisa menegaskan otonomi setiap universitas.
Kampus memiliki cara yang lebih fleksibel untuk fokus pada visi masing-masing tanpa mengurangi mutu para lulusan.
"Iya itu menurut saya mengurangi kekakuan di atas (perjokian). Jadi jangan dilihat hitam putih 'kamu skripsi atau enggak' gitu loh, skripsi itu hanya salah satu (metode kelulusan),” tuturnya.
UGM tidak ingin aturan yang terlalu rigid sebelumnya itu berdampak kurang baik.
Mulai dari kemunculan joki skripsi hingga penelitian-penelitian yang justru hanya dipaksa saja untuk memenuhi syarat kelulusan.
"Saya kira nanti masing-masing pasti akan menyesuaikan, yang jelas misalnya jangan sampai penelitian-penelitian itu dipaksa, dipaksa dalam artian pokoknya harus penelitian sampai akhirnya muncul itu tadi. Jadi artinya ini dikembalikan kepada universitas dan kekhasan prodi masing-masing," terangnya. (*)
Inovasi Mahasiswa KKN PPM UGM, Nagari Sungai Nyalo Mudiak Aia Tak Lagi Menakutkan di Malam Hari |
![]() |
---|
Gugatan kepada Rektor UGM Soal Ijazah Jokowi Gugur di PN Sleman, Ini Alasannya |
![]() |
---|
Lebih dari 10 Ribu Mahasiswa Baru UGM Ikuti PIONIR 2025, Rektor: Ruang Awal Bentuk Karakter |
![]() |
---|
Lestarikan Ekosistem Bawah Laut Sumbar, Mahasiswa KKN UGM Tanam Terumbu Karang |
![]() |
---|
Pengamat UGM Buka Suara Soal Manuver PDIP Dukung Pemerintahan Prabowo Usai Hasto Dapat Amnesti |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.