Mengumpulkan Cerita dari Empat Bangunan Cagar Budaya di Mantrijeron

Sebagai wilayah yang punya sejarah panjang, ada beberapa bangunan cagar budaya di Kemantren Mantrijeron, Kota Yogyakarta.

Editor: ribut raharjo
Istimewa
Dalem Puspodiningratan berada di Jalan Mayjend Sutoyo Nomor 66 Kelurahan Mantrijeron atau sebelah Selatan Pojok Beteng Wetan. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Sebagai wilayah yang punya sejarah panjang, ada beberapa bangunan cagar budaya di Kemantren Mantrijeron, Kota Yogyakarta.

Setidaknya ada empat bangunan yang masih bertahan sampai hari ini, yaitu Dalem Puspodiningratan, Gereja Katolik Hati Kudus Tuhan Yesus Pugeran, Bangunan rumah di Jalan Tirtodipuran Nomor 63, dan Rumah Kertonegaran.

Dalem Puspodiningratan berada di Jalan Mayjend Sutoyo Nomor 66 Kelurahan Mantrijeron atau sebelah Selatan Pojok Beteng Wetan.

Mulanya, Dalem Puspodiningratan merupakan tempat tinggal Danunegoro, putra ke-4 Sri Sultan HB VII.

Budayawan Muhammad Jazir mengatakan pembangunan Dalem tersebut saat masa kejayaan Sri Sultan HB VII dengan segala pabrik gulanya.

“Sri Sultan HB VII membuatkan rumah untuk putranya di situ, dengan gaya modern pada pada masanya,” katanya.

Nama Danunegoro berasal dari keluarga yang tinggal di awal-awal bangunan berdiri. Wilayah sekitar juga disebut daerah Danunegaran.

Seiring perkembangannya, dalem tersebut ditinggali oleh KRT. Puspodiningrat yang merupakan cucu Sri Sultan HB VI sekaligus menantu Sri Sultan HB VII.

Semenjak itu nama rumah berubah menjadi Dalem Puspodiningratan, sesuai dengan nama pemiliknya. Kini rumah tersebut ditinggali cucu keturunan KRT. Puspodiningrat.

Tidak hanya sebagai tempat tinggal, Dalem Puspodiningratan pernah menjadi tempat penyimpanan benda-benda milik Fakultas Geologi UGM.

Pada tahun 1967-1987 sebagian pringgitan digunakan sebagai TK Kartini dan sejak tahun 1989 pada bagian pendapa dan pringgitan digunakan untuk SMP Tamtama hingga saat ini.

Bangunan cagar budaya selanjutnya adalah Gereja Katolik Hati Kudus Tuhan Yesus Pugeran.

Berada di Jalan Suryaden Nomor 63, Kelurahan Suryadiningratan, tempat peribadatan umat Katholik ini dibangun tahun 1933, dan selesai setahun berikutnya dengan arsitek J. Th. Van Oyen.

Untuk nama Pugeran berasal dari tokoh bangsawan Karaton Nyayogyakarta Hadiningrat yang tinggal di luar kawasan ‘Njeron Benteng’. 

Dalam sejarahnya, wilayah Mantrijeron terkenal sebagai tempat tinggal para prajurit kepercayaan Kraton.

“Mantrijero bisa diartikan prajurit yang mempunyai wewenang atau ikut ambil bagian dalam memutuskan hal-hal di lingkungan kraton. Dalam urutannya, Prajurit Mantrijero berada lebih dalam, atau lapis kedua, setelah Prajurit Jogokaryo yang berhadapan langsung dengan musuh. Setelah Prajurit Mantrijero, baru masuk lebih dalam, ke ranah pangeran atau internal kraton,” kata Jazir.

Paska kemerdekaan, bangunan ini difungsikan oleh masyarakat sebagai lokasi pengungsian perang. Kala itu, para Romo yang berada di gereja merawat para korban perang.

Gereja Pugeran memiliki langgam Indish dengan perpaduan gaya Eropa dan tradisional Jawa. Bagian atap terlihat mengadopsi gaya tradisional Jawa berupa atap tumpang bersusun tiga.

Pada bagian kemuncak-nya merupakan lantern (tower). Sampai hari ini, Gereja Pugeran masih berfungsi sebagai tempat ibadah.

Dua bangunan cagar budaya lainnya yaitu rumah di Jalan Tirtodipuran Nomor 63 dan Rumah Kertonegaran di Jalan Tirtonegaran Nomor 5, Kelurahan Mantrijeron. Rumah di Jalan Tirtodipuran bergaya arsitektur Indonesia modern tahun 1950-an.

Dalam penelusuran, ada kemungkinan bangunan awal sudah diganti dari yang ada pada tahun 1925. Meski bernuansa modern, tetap ada unsur Jawa yang terlihat pada struktur ruang, pendopo, ruang tamu, ruang keluarga, dan ruang makan.

Sementara Rumah Kertonegaran dibangun tahun 1946-1947 oleh Prof. Mr. Kertonegoro. Tempat tinggal yang mulanya milik GKR. Pembayun (istri Kertonegoro) ini kemudian dijual oleh ahli warisnya pada tahun 1989. Saat ini rumah tersebut dimiliki oleh Wieke.

Bangunan bergaya Indish masih menunjukkan tapak keasliannya, terutama dilihat dari bentuk bangunan dan lingkungannya.

Langgam bangunan Indis bisa terlihat dari atap limasan, muka depan bangunan terdapat kuncungan atau kanopi, dan pintu ganda dengan jendela berada di samping kanan kiri simetris.

Ada pula komponen rumah yang dibuat tinggi dengan ventilasi yang jumlahnya cukup banyak. Di halaman, masih ada Pohon Sawo Kecik seperti di wilayah Kraton.

Pohon Sawo Kecik memiliki filosofis yang mengandung makna ‘sarwa becik’ atau selalu dalam kebaikan. (ord)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved