Sumbu Filosofi Yogyakarta

Sejarah Masjid Pathok Negoro, Dalam Falsafah Jawa: Kiblat Papat Limo Pancer

Apakah Tribunners pernah mendengar Masjid Pathok Negoro? Kira-kira apa dan di mana Masjid Pathok Negoro berada? Mari kita bahas lanjut terkait Masjid

jogjaprov.go.id
Sejarah Masjid Pathok Negoro, Dalam Falsafah Jawa: Kiblat Papat Limo Pancer 

TRIBUNJOGJA.COM - Apakah Tribunners pernah mendengar Masjid Pathok Negoro? Kira-kira apa dan di mana Masjid Pathok Negoro berada? Mari kita bahas lanjut terkait Masjid Pathok Negoro.

Sesuai namanya, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memang istimewa karena tak lepas dari Garis Imajiner atau Sumbu Filosofi Yogyakarta dan budaya-budaya lainnya.

Sumbu Filosofi Yogyakarta ini adalah Garis Imajiner yang menghubungkan antara Gunung Merapi, Tugu Pal Putih dan Keraton Yogyakarta.

Ini menarik dipelajari karena dari Garis Imajiner itu, implementasi konsep dari Sumbu Filosofi Yogyakarta terlihat di bangunan-bangunan yang ada di DIY.

Kali ini mari menilik sejarah Masjid Pathok Negara yang merupakan kagungan ndalem (milik raja).

Keberadaan masjid memang menjadi satu pilar bagi berdirinya Kasultanan Yogyakarta.

Jadi, selain Masjid Gedhe yang berada di pusat pemerintahan, Kasultanan Yogyakarta juga membangun masjid di empat penjuru mata angin.

Keempat masjid ini disebut sebagai Masjid Pathok Negoro.

Secara makna, kata pathok berarti sesuatu yang ditancapkan sebagai batas atau penanda, dapat juga berarti aturan, pedoman ,atau dasar hukum.

Sementara negoro berarti negara, kerajaan, atau pemerintahan.

Baca juga: Apa yang Dimaksud dengan Sumbu Filosofi Yogyakarta? Ternyata Asal Usulnya dari Sejarah Abad 18

Baca juga: Sejarah Tugu Pal Putih Jadi Sumbu Filosofi Yogyakarta, Simbol Pengayoman Sultan Kepada Rakyatnya

Sehingga Pathok Negara bisa diartikan juga sebagai batas wilayah negara atau pedoman bagi pemerintahan negara.

Ide pembangunan Masjid Pathok Negara muncul setelah Perjanjian Giyanti (1755) diteken.

Sultan Hamengkubuwono I menimbang lembaga peradilan yang sudah ada pada era Mataram Islam, salah satunya Pengadilan Surambi.

Dikutip Tribunjogja.com dari laman Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) posisi Masjid Pathok Negoro berada di wilayah pinggiran Kuthanegara, tepat berada di perbatasan wilayah Negaragung.

Kuthanegara dan Negaragung merupakan sistem pembagian hirarki tata ruang dalam wilayah kerajaan Mataram Islam.

Jika wilayah Kuthanegara tempat pusat pemerintahan berada, maka Negaragungadalah wilayah inti kerajaan yang berfungsi sebagai pelingkup atau penyangga pusat pemerintahan.

Pathok Negoro juga merupakan nama jabatan Abdi Dalem di bawah struktur Kawedanan Reh Pangulon.

Abdi Dalem Pathok Negara adalah Abdi Dalem yang menguasai bidang hukum dan syariat agama Islam.

Para Abdi Dalem ini diberi wilayah perdikan dan ditugasi mengelola masjid di wilayah tersebut, termasuk memberikan pengajaran atau pendidikan keagamaan kepada masyarakat yang berada di sekitar bangunan masjid.

Masjid Pathok Negoro ini tak sekadar menjadi simbol atau pilar saja.

Secara keseluruhan Masjid Pathok Negara memiliki fungsi sebagai pusat pendidikan, tempat upacara atau kegiatan keagamaan, bagian dari sistem pertahanan, sekaligus bagian dari sistem peradilan keagamaan yang disebut juga sebagai Pengadilan Surambi.

Sama seperti fungsi pengadilan lainnya, pengadilan ini memutus hukum perkara pernikahan, perceraian atau pembagian waris. Sementara untuk hukum yang lebih besar (perdata atau pidana) diputus di pengadilan keraton.

Nah, keempat Masjid Pathok Negara dibangun di masa Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I.

Masjid-masjid ini meliputi Masjid Jami’ An-nur di Mlangi (Barat), Masjid Jami’ Sulthoni di Plosokuning (Utara), Masjid Jami’ Ad-Darojat di Babadan (Timur), dan Masjid Nurul Huda di Dongkelan (Selatan).

Berikut adalah Masjid Pathok Negoro yang juga disebut sebagai Kiblat Papat Lima Pancer.

1. Masjid Jami’ An-Nur Mlangi

Masjid Patok Negoro Mlangi
Masjid Patok Negoro Mlangi (Tribun Jogja/ Siti Umaiyah)

Masjid Jami’ An-Nur di Mlangi didirikan dan dikelola oleh BPH. Sandiyo, atau lebih dikenal sebagai Kyai Nur Iman. Beliau adalah saudara Sri Sultan Hamengku Buwono I, merupakan putra dari Raja Mataram, Susuhunan Amangkurat IV.

Masjid ini beralamat di dusun Mlangi, desa Nogotirto, kecamatan Gampung, kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.

Masjid Mlangi berdiri seiring dengan lahirnya daerah Mlangi, berkat hadiah tanah perdikan dari Sri Sultan Hamengku Buwono I kepada Kyai Nur Iman pada tahun 1758. M

Kawasan masjid ini masuk ke dalam desa wisata Mlangi. Area masjid ini menempati tanah selaus 1000 meter persegidari Kasultanan Yogyakarta. bangunannya terbagi menjadi beberapa ruangan.

Ruangan utamanya seluas 20 x 20 meter persegi, serambi masjid 12 x20 meter, ruang perpustakaan 7 x 7 meter persegi.

Luas halaman masjid ini sendiri adalah 500 meter persegi.

Masjid ini berada di tanah yang lebih rendah adri tanah lainnya oleh akrena itu ada beberapa anak tangga yang dapat digunaakan untuk menuju ke lokasi.

Pada awal berdirinya, masjid ini memiliki 16 tiang utama dari kayu jati.

Terdiri dari 4 saka guru dan 12 saka penanggep.

Namun seiring kebutuhan masyarakat sekitar, bangunan ini mengalami perubahan besar-besaran pada tahun 1985.

Masjid dibuat bertingkat dengan pilar-pilar beton, hanya bentuk asli masjid ini yang dipertahankan dengan cara diangkat ke lantai atas. Salah satu bagian masjid yang tidak berubah adalah mustaka, atau mahkota masjid.

Baca juga: Sejarah Upacara Adat Labuhan di Pantai Parangkusumo, Tradisi Keraton Yogyakarta Sejak Abad ke-17

2. Masjid Sulthoni Plosokuning

Masjid Plosokuning
Masjid Plosokuning (Tribun Jogja/ Siti Umaiyah)

Masjid Pathok Negoro Plosokuning berada di Minomartani, Ngaglik, Sleman. Masjid berusia hampir tiga abad ini merupakan benteng spiritual Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Masjid yang berada di Jl. Plosokuning Raya Nomor 99, Minomartani, Ngaglik, Sleman, DI Yogyakarta ini berdiri di atas tanah seluas 2.500 meter persegi.

Luas bangunannya sendiri adalah 288 meter persegi yang setelah mengalami perombakan menjadi 328 meter persegi.

Masjid ini didirikan oleh Kyai Mursodo, yang merupakan anak dari Kyai Nur Iman Mlangi. Kyai Nuriman merupakan saudara dari Sri Sultan Hamengkubuwono I.

Nama Plosokuning diambil dari nama pohon Ploso yang dulu banyak terdapat di sekitar Masjid. Lantaran daun pohon Ploso itu banyak yang berwarna kuning maka jadilah 'Plosokuning'.

Di sini juga terdapat kolam yang mengelilingi masjid untuk membasuh kaki karena untuk menyesuaikan kebiasaan masyarakat dahulu yang beraktivitas sehari-hari tanpa alas kaki.

3. Masjid Jami’ Ad-Darojat di Babadan

Masjid Ad-Darojat Babadan yang merupakan salah satu masjid pathok negara yang didirikan oleh Sultan HB I pada tahun 1774.
Masjid Ad-Darojat Babadan yang merupakan salah satu masjid pathok negara yang didirikan oleh Sultan HB I pada tahun 1774. (Tribun Jogja/Hamim Thohari)

Masjid Ad-Darojat Babadan adalah menjadi Masjid Pathok Negara yang didirikan di sisi Timur Keraton Kasultanan oleh Sultan HB I pada tahun 1774.

Masjid yang terletak di Dusun Babadan Kauman, Kelurahan Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul tersebut mengalami sejarah yang panjang.

Kisah menarik dari Masjid Jami’ Ad-Darojat di Babadan ini sempat dipindahkan ke Jalan Kaliurang. Loh kog bisa?

Jadi, dulu keberadaan masjid ini pernah dipindahkan kolonial Jepang. Dipindah dari Bantul ke Jalan Kaliurang, Sleman, DI Yogyakarta.

Pemindahan dilakukan karena Jepang akan membangun pangkalan pesawat di sekitar berdirinya masjid.

Nah, setelah dipindahkan, di Sleman ternyata masjid tak terurus.

Bahkan, kehidupan keagamaan warga di sekitar seakan mati suri, tidak seperti di tempat awal.

Sekitar tahun 1960, masjid pun dikembalikan.

Awalnya, ide pembangunan kembali masjid ini di tempat semula dilakukan oleh salah seorang warga Babadan. Namanya pun kini disematkan menjadi bagian dari nama masjid, “Ad Darojat”.

Nama Ad-Darojat sendiri berasal dari nama kecil Sri Sultan Hamengkubuwono IX yaitu Darojatun.

4. Masjid Nurul Huda Dongkelan

Masjid Nurul Huda Dongkelan atau Masjid Pathok Negara Dongkelan di Kalurahan Tirtonirmolo, Kapanewon Kasihan, Bantul
Masjid Nurul Huda Dongkelan atau Masjid Pathok Negara Dongkelan di Kalurahan Tirtonirmolo, Kapanewon Kasihan, Bantul (TRIBUNJOGJA.COM / Santo Ari)

Terakhir ada Masjid Nurul Huda Dongkelan yang letaknya di sisi selatan. Masjid ini terletak di desa Kauman, Dongkelan, Tirtomartani, Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta yang pada tahun 1775 digunakan sebagai tempat ibadah sekaligus juga benteng pertahanan.

Masjid Nurul Huda Dongkelan menjadi saksi bisu peran Masjid Pathok Negara sebagai sistem pertahanan.

Di masa perlawanan Pangeran Diponegoro, masjid ini ludes dibakar oleh Belanda karena dianggap sebagai tempat berkumpulnya para pejuang pengikut Pangeran Diponegoro.

Masjid Nurul Huda didirikan pada tahun 1775 dengan Kyai Syihabudin sebagai penghulunya.

Bangunan awal masjid ini beratapkan ijuk. Ciri utama sebagai Masjid Pathok Negara terletak di mustaka tanah liatnya. 

Mustaka tersebut kini tidak lagi berada di atap masjid, namun disimpan dalam kotak kaca. Mustaka ini pula yang tersisa dari bangunan ini ketika ludes dibakar Belanda.

Falsafah dan Makna Masjid Pathok Negoro

Setelah menilik sejarahnya, adapun falsafah Jawa yang mengatakan Masjid Pathok Negoro sebagai kiblat papat limo pancer, atau yang dikenal juga dengan mancapat-mancalima.

Seperti yang dilansir Tribunjogja.com dari laman kratonjogja, falsafah ini diwujudkan dengan posisi empat Masjid Pathok Negara di empat penjuru mata angin, dengan Masjid Gedhe sebagai pusatnya. Hal ini adalah perwujudan konsep mandala.

Jumlah tumpang pada atap digunakan sebagai pembeda antara posisi Masjid Gedhe sebagai pusat dan keempat masjid lainnya sebagai penjuru.

Mandala dalam konsep pemerintahan merupakan penggambaran keharmonisan antara makrokosmos dengan mikrokosmos (rakyat dan pusat kekuasaan).

Dalam bahasa Jawa dikenal sebagai Manunggaling Kawulo Gusti.

Selain konsep mandala, terdapat juga konsep “dunia waktu”, yaitu penggolongan empat dimensi ruang yang berpola empat penjuru mata angin dengan satu pusat.

Konsep ini merupakan penggambaran kesadaran diri manusia akan hubungan yang tidak terpisahkan antara dirinya dengan alam semesta.

Makna terdalam dari konsep ini adalah apabila manusia mampu mengendalikan eksistensi ganda elemen kehidupan maka akan tercapai kesempurnaan lingkaran mandala di dalam dirinya.

Maka keberadaan Masjid Pathok Negoro dengan Masjid Gedhe di tengahnya ini, memberi peringatan kepada para penghuninya agar mengenali dirinya sendiri serta menyatu dengan alam semesta.

( Tribunjogja.com / Bunga Kartikasari )

 

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved