Sumbu Filosofi Yogyakarta
Sejarah Tugu Pal Putih Jadi Sumbu Filosofi Yogyakarta, Simbol Pengayoman Sultan Kepada Rakyatnya
Apa makna Tugu Golong Gilig ini? Bagaimana Sejarah Tugu Pal Putih? Tugu Golong Gilig dibangun sekitar tahun 1755 oleh Sri Sultan Hamangku Buwono (HB)
Penulis: Bunga Kartikasari | Editor: Bunga Kartikasari
TRIBUNJOGJA.COM - Berwisata ke Yogyakarta, tak lengkap rasanya tanpa mengabadikan momen di Tugu Jogja.
Tugu Jogja yang dikenal masyarakat dengan Tugu Golong Gilig atau Tugu Pal Putih menjadi destinasi wisata wajib buat para wisatawan yang mengunjungi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Sebab, Tugu Pal Putih dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai titik pusat dari kota gudeg ini.
Bahkan, banyak yang percaya akan mitos jika foto di Tugu Pal Putih ini, kita bisa kembali lagi ke Yogyakarta.
Dibalik mitos dan populernya Tugu Pal Putih, apakah Tribunners tahu bahwa Tugu Jogja ini sebenarnya memiliki cerita magis yang erat dengan Sumbu Filosofi Yogyakarta?
Seperti yang dibahas sebelumnya Tugu Pal Putih menjadi Garis Iamjiner antara tiga tempat penting di Yogyakarta seperti Laut Selatan, Keraton Yogyakarta, dan Gunung Merapi.
Sri Sultan Hamengku Buwono I menata Kota Yogyakarta membentang arah utara-selatan dengan membangun Keraton Yogyakarta sebagai titik pusatnya.
Sultan Hamengku Buwono I juga mendirikan Tugu Golong Gilig atau Tugu Pal Putih di sisi utara keraton, dan Panggung Krapyak di sisi selatannya.
Dari ketiga titik tersebut apabila ditarik suatu garis lurus akan membentuk Garis Imajiner yang dikenal sebagai Sumbu Filosofi Yogyakarta.
Apa makna Tugu Golong Gilig ini? Bagaimana Sejarah Tugu Pal Putih?

Tugu Golong Gilig dibangun sekitar tahun 1755 oleh Sri Sultan Hamangku Buwono (HB) I.
Pembangunan Tugu Golong Gilig ini tidak sekadar berdiri untuk keindahan tata kota saja.
Tentu saja Tugu Golong Gilig ini memiliki makna dan nilai simbolis yang bersifat magis karena menghubungkan Laut Selatan, Keraton Yogyakarta, dan Gunung Merapi.
Dikutip Tribunjogja.com dari laman Visiting Jogja, saat awal berdiri, secara tegas Tugu Golong Gilig ini menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti, yaitu semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajah.
Baca juga: Apa yang Dimaksud dengan Sumbu Filosofi Yogyakarta? Ternyata Asal Usulnya dari Sejarah Abad 18
Baca juga: Sejarah Panggung Krapyak bagian dari Sumbu Filosofi Yogyakarta, Ternyata Ini Fungsinya Guys
Tugu Golong Gilig, Panggung Krapyak merupakan simbol Lingga dan Yoni yang melambangkan kesuburan.
Tugu Golong Gilig pada bagian atasnya berbentuk bulatan (golong) dan pada bagian bawahnya berbentuk silindris (gilig) serta berwarna putih sehingga disebut juga Pal Putih.
Tugu ini memiliki bentuk silinder yang mengerucut ke atas dengan ketinggian mencapai 25 meter.
Makna Tugu Golong Gilig atau Tugu Jogja ini melambangkan keberadaan Sultan dalam melaksanakan proses kehidupannya.
Hal tersebut ditunjukkan dengan menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa secara tulus yang disertai satu tekad menuju kesejahteraan rakyat (golong-gilig) dan didasari hati yang suci (warna putih).
Itulah sebabnya Tugu Golong Gilig ini juga sebagai titik pandang utama (point of view) Sultan pada saat melaksanakan meditasi di Bangsal Manguntur Tangkil di Sitihinggil Utara.
Hubungan filosofi antara Tugu Golong Gilig, Keraton dan Panggung Krapyak dan sebaliknya yang bersifat Hinduistis ini oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I diubah menjadi konsep filosofi Islam Jawa “Sangkan Paraning Dumadi”.

Jika perjalanan dari Panggung Krapyak menuju keraton mewakili konsepsi sangkan (asal) dan proses pendewasaan manusia.
Dari Tugu Golong Gilig menuju ke keraton mewakili filosofi paran (tujuan) yang disebut sebagai perjalanan manusia menuju Penciptanya.
Golong Gilig melambangkan bersatunya cipta, rasa dan karsa yang dilandasi kesucian hati (warna putih) melalui Margatama (jalan menuju keutamaan) ke arah selatan melalui Malioboro (memakai obor/pedoman ilmu yang diajarkan para wali), terus ke selatan melalui Margamulya, kemudian melalui Pangurakan (mengusir nafsu yang negatif).
Namun, khusus bagi Sultan, poros ini memiliki makna berbeda. Arahnya bukan dari tugu ke keraton, tetapi dari Keraton ke Tugu. Sebaliknya, dari Keraton menuju Panggung Krapyak.
Dilansir dari laman Kratonjogja.id, poros dari Keraton hingga Tugu Golong Gilig mencerminkan kewajiban Sultan untuk melindungi dan mengayomi rakyat.
Bisa disimpulkan, Sultan memiliki kewajiban memfasilitasi masyarakat agar dapat hidup lebih baik dengan menyediakan materi serta pengayoman spiritual.
Penyediaan materi disimbolkan dengan fasilitas ekonomi, yaitu Pasar Beringharjo dan fasilitas pemerintahan, berupa Gedung Kepatihan, sementara pengayoman spiritual dicerminkan oleh Masjid Gedhe.
Baca juga: Sejarah Upacara Adat Labuhan di Pantai Parangkusumo, Tradisi Keraton Yogyakarta Sejak Abad ke-17
Bahkan, saat Sultan duduk siniwaka di Bangsal Manguntur Tangkil yang berada di Siti Hinggil Lor, beliau akan bermeditasi dengan arah pandang ke Tugu Golong Gilig.
Oleh karena itu Tugu Golong Gilig juga berarti Manunggaling Kawula Gusti.
Fasad Tugu yang mengarah ke atas juga merupakan pengejawantahan filosofi tersebut, yaitu meleburnya kawula atau rakyat dan Gusti atau Sultan.
Sekaligus kawula dalam makna manusia (termasuk sultan) dan Gusti yang berarti Tuhan.
Perubahan Wujud Tugu Golong Gilig jadi Tugu Pal Putih

Ketinggan bangunan tugu pada awalnya mencapai 25 meter.
Namun, 10 Juni 1867, gempa merusak bangunan asli Tugu Golong Gilig.
Bisa dikatakan, saat tugu runtuh ini merupakan keadaan transisi, sebelum makna persatuan benar-benar tak tercermin pada bangunan tugu.
Keadaan benar-benar berubah pada tahun 1889, saat pemerintah Belanda merenovasi bangunan tugu.
Namun tugu tersebut bentuknya tidak sama dengan aslinya.
Diduga, ini memang kesengajaan dari pemerintah Hindia-Belanda yang tidak suka dengan semangat kesatuan yang disimbolkan oleh tugu tersebut.
Bagian puncak tugu tak lagi bulat, tetapi berbentuk kerucut yang runcing.
Baca juga: Sejarah Cepuri Parangkusumo, Tempat Upacara Labuhan dan Ziarah di Utara Pantai Parangkusumo
Ketinggian bangunan pun dibuat menjadi lebih rendah, hanya setinggi 15 meter atau 10 meter lebih rendah dari bangunan semula.
Sejak saat itu, tugu ini disebut juga sebagai De Witt Paal atau Tugu Pal Putih.
Tak cukup dengan itu, pemerintah Hindia-Belanda pun membangun rel kereta api yang memotong sumbu filosofi.
Akan tetapi, setelah melihat perjuangan rakyat dan sang Raja Yogyakarta yang berlangsung sesudahnya membuat Belanda tak bisa memaksakan kehendaknya.
Simbol Bintang Enam Sudut

Adapun keunikan Tugu Jogja lainnya, memiliki simbol bintang enam sudut.
Lambang yang disebut-sebut mirip dengan Bintang David ini menyerupai tanduk Unicorn, seekor kuda putih bertanduk dengan bentuk spiral yang meruncing di bagian ujungnya.
Nah, itulah sejarah dari Tugu Pal Putih yang biasa Anda lewati kalau ke Yogyakarta.
Apa sudah kangen Yogyakarta lagi?
( Tribunjogja.com / Bunga Kartikasari )
Tugu Golong Gilig
Tugu Jogja
Tugu Pal Putih
Sumbu Filosofi Yogyakarta
Garis Imajiner
Keraton Yogyakarta
makna Tugu Golong Gilig
Sejarah Tugu Pal Putih
Daerah Istimewa Yogyakarta
Yogyakarta
Tribunjogja.com
Promosikan World Heritage, 73 Delegasi dari Malaysia Diajak Tour Sumbu Filosofi |
![]() |
---|
Sumbu Filosofi Jadi Warisan Dunia, Trans Jogja Belum Berencana Tambah Rute |
![]() |
---|
Sri Sultan Hamengku Buwono X Ingin Sumbu Filosofi Berdampak Positif ke Seluruh Lapisan Masyarakat |
![]() |
---|
Layani Tur Gratis di Kawasan Sumbu Filosofi, Disbud DIY Sediakan 2 Unit Bus Jogja Heritage Track |
![]() |
---|
Pemda DIY Bakal Bentuk Sekretariat Bersama untuk Kelola Kawasan Sumbu Filosofi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.