Pengentasan Kemiskinan DIY

Angka Harapan Hidup dan IPM Tinggi, Warga DIY Gemar Menabung

Benny menegaskan bahwa angka kemiskinan DIY jika dihitung dari tahun ke tahun atau year on year sejatinya mengalami penurunan.

Penulis: Yuwantoro Winduajie | Editor: ribut raharjo
Tribunjogja.com/Yuwantoro Winduajie
Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) DIY, Benny Suharsono 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Data Badan Pusat Statistik per September 2022 menunjukkan angka kemiskinan di DIY sebesar 11,49 persen.

Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah atau Bappeda DIY, Benny Suharsono, mengakui masalah kemiskinan masih menjadi pekerjaan rumah yang terus-menerus ditangani Pemerintah Daerah.

Namun demikian, Benny menegaskan bahwa angka kemiskinan DIY jika dihitung dari tahun ke tahun atau year on year sejatinya mengalami penurunan.

Dibandingkan September 2021, jumlah penduduk miskin September 2022 turun 10,9 ribu orang atau 0,42 % persen.

"Jadi itu kan kita bicara statistik, kalau bicara kuartal per kuartal (angka kemiskinan) itu memang naik, tapi kalau bicara year on year (angka kemiskinan) itu turun," ungkap Benny Suharsono di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Jumat (20/1/2023).

Benny melanjutkan, masyarakat DIY itu memiliki karakteristik khusus dan berbeda dengan daerah lain.

Untuk itu, tolak ukur kemiskinan sebaiknya tidak hanya dilihat dari jumlah pengeluaran atau tingkat konsumsi masyarakat.

Benny mencontohkan, meski angka kemiskinan tergolong tinggi, Indeks Pembangunan Manusia atau IPM di wilayah ini justru mengalami peningkatan.

IPM sendiri menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh kesehatan, pendidikan, pendapatan dan sebagainya.

"Fakta yang lain menunjukkan statistik yang sama misalnya usia harapan hidup, angka kebahagiaan, angka harapan rata-rata lama sekolah, indeks kesejahteraan. Apa mungkin kalau angka kemiskinan ekstremnya tertinggi, angka-angka yang tadi tidak menjadi bagian dari diskusi," jelasnya.

Adapun salah satu dimensi penghitungan IPM adalah angka harapan hidup penduduk di mana capaian di DIY telah melebihi rata-rata nasional.

Bahkan di Kabupaten Kulon Progo yang menjadi salah satu daerah miskin, angka harapan hidupnya mencapai sekitar 75 tahun.

"Contoh di Kulon Progo kemiskinannya mendekati 18 persen tapi usia harapan hidupnya paling tinggi di hingga 75 koma sekian tahun," paparnya.

Begitu pula dengan rata-rata lama sekolah. Benny mengklaim penduduk DIY rata-rata mengemban pendidikan hingga 15,59 tahun.

"Ukurannya, harapan rata-rata lama sekolah 15,59 tahun. Artinya masyarakat DIY bisa menyekolahkan anaknya minimal hingga diploma tiga. Itu sudah tertinggi nomor 2 setelah DKI Jakarta," jelasnya.

Benny mengatakan, salah satu dimensi IPM yang perlu digenjot adalah Pengeluaran Per Kapita (KAP) masyarakat DIY yang masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan karena banyak bahan makanan pokok yang ditanam sendiri.

"Masyarakat tidak suka obral belanja, tapi lebih suka investasi. Investasi pun tidak berupa uang tapi berupa rajakaya. Tentunya ada tanaman, ada hewan yang bisa diinvestasikan sewaktu-waktu untuk pembiayaan pendidikan anak. Kan, tidak ditemukan di daerah lain," jelasnya.

Gemar menabung

Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia DIY, Budiharto Setyawan mengungkapkan, mayoritas warga DIY sebenarnya telah memiliki pekerjaan, namun secara statistik kemiskinan DIY dianggap masih tinggi.

Hal ini disebabkan pola konsumsi masyarakat DIY cenderung sederhana dan metode pengukuran statistik belum sepenuhnya bisa menggambarkan paritas daya beli atau purchasing power parity masyarakat DIY yang sebenarnya.

"Pola konsumsi masyarakat DIY cenderung unik yang relatif berbeda dibandingkan daerah lain. Mayoritas masyarakat DIY memiliki budaya yang kuat dalam menabung dibandingkan dengan konsumsi," jelas Budiharto, kemarin.

Hal tersebut tercermin dari tingkat simpanan masyarakat di bank yang selalu lebih tinggi dibandingkan tingkat kredit.

Secara rata-rata, rasio kredit dibandingkan dengan simpanan rumah tangga di DIY dalam 10 tahun terakhir berkisar 66,78 % . Jumlah itu tergolong rendah apabila dibandingkan dengan rasio ideal sebesar 80-90 % .

Dia mengatakan, kondisi tersebut terus menjadi problem secara statistik, karena penduduk dikategorikan miskin apabila rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Dengan demikian, semakin rendah pengeluaran penduduk maka akan semakin dekat dengan kemiskinan.
Sementara itu, kesenjangan pendapatan yang didekati dengan pengeluaran penduduk lokal dengan penduduk pendatang juga sangat tinggi.

Kesenjangan pengeluaran ini didominasi oleh produk tersier. Di mana mayoritas penduduk pendatang melakukan pengeluaran yang signifikan lebih besar utamanya untuk produk makanan jadi, sewa rumah, maupun produk gaya hidup seperti perawatan kecantikan dan kesehatan. (tro/ord)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved