Polisi Tetapkan Pelaku Perusakan Masjid di Salaman Magelang Sebagai Tersangka

Diketahui, tersangka berinisial F (50) berjenis kelamin perempuan dan bertempat tinggal di wilayah Kajoran, Magelang.

Tribun Jogja/Nanda Sagita Ginting
Polisi menunjukkan barang bukti tirai masjid yang dibakar oleh tersangka, di halaman depan Mapolresta Magelang, pada Selasa (13/12/2022). 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Nanda Sagita Ginting 

TRIBUNJOGJA.COM, MAGELANG - Polresta Magelang resmi menetapkan pelaku perusakan rumah ibadah Masjid Al-Mahfudz yang berlokasi di Krandan, Kebonrejo, Kecamatan Salaman Magelang menjadi tersangka.

Diketahui, tersangka berinisial F (50) berjenis kelamin perempuan dan bertempat tinggal di wilayah Kajoran, Magelang.

Plt Kapolresta Magelang, AKBP Mochammad Sajarod Zakun, mengatakan penetapan tersangka mengacu pada alat bukti yang sudah ada berupa keterangan saksi, barang, bukti, dan keterangan tersangka.

"Pelaku ditetapkan sebagai tersangka karena mengacu pada pasal 184 KUHPidana yang sudah cukup pelaku menjadikan pelaku sebagai tersangka. Karena, ada lebih dua barang bukti yakni keterangn saksi ada,barang bukti sudah ada, dan keteranganan tersangka juga ada. Jadikan sudah memenuhi," ujarnya saat konferensi pers  di ruang media Mapolresta Magelang, pada Selasa (13/12/2022).

Meskipun begitu, ia menerangkan tersangka belum dilakukan penahanan karena harus menjalani proses observasi kejiwaan terlebih dahulu

Lantaran jawaban tersangka terhadap pertanyaan yang diajukan penyidik beberapa kali terjadi ketidaksinkronan.

"Untuk penahanan belum kami lakukan karena saat ini pelaku kami bawa ke RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang. Agar dilakukan observasi untuk menguatkan apakah kasus ini bisa dilanjutkan atau tidak. Sehingga, perlunya pendampingan dari ahli untuk lakukan observasi terlebih dahulu. Setelah itu, baru kami akan lanjutkan berdasarkan hasil observasi apakah yang bersangkutan ini masuk ODGJ atau tidak," ujarnya.

Ia melanjutkan, jika nantinya memang tersangka terbukti tidak mengalami gangguan jiwa, maka tersangka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum.

"Namun, jika yang bersangkutan masuk dalam kategori ODGJ akan kami koordinasikan terlebih dahulu,"ucapnya.

Dia menambahkan, sembari menunggu hasil observasi dari pihak terkait, tersangka atas perbuatannya disangkakan pasal 
156 KUHpidana dengan Juncto pasal 406 KUHP. 

Berisi tentang barangsiapa yang menyatakan didepan umum perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan  terhadap sesuatu atau beberapa golongan penduduk Negara Indonesia atau pengerusakan.

"Dengan ancaman hukuman penjara maksimal 4 tahun, dan pasal perusakan dengan ancaman 2 tahun 8 bulan,"tuturnya.

Sementara itu, Ketua Komite Etik dan Hukum/ Psikiater Forensik RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang, dr. Ni Kadek Duti A.S.P.L, Sp.KJ (K) mengatakan, untuk menentukan ada tidaknya masalah gangguan kejiwaan maka perlu dilakukan observasi terlebih dahulu.

"Jadi untuk pasien yang diduga mengalami gangguan jiwa dan melakukan tindak pidana biasanya kami akan melakukan prosedur  seperti wawancara kemudian observasi. Kalau di tempat kami observasi itu sesuai dengan Permenkes 77 Tahun 2015 harus berada di dalam ruangan terstandar. Kemudian waktu yang kami butuhkan minimal 14 hari sejak seluruh proses administrasi lengkap,"ujarnya. 

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved