Prancis Resmi Akhiri Operasi Antiteror Barkhane di Bekas Jajahannya di Afrika

Presiden Prancis Emanuel Macron mengumumkan secara resmi akhir Operasi Barkhane, perang melawan terorisme di bekas jajahannya di Afrika.

Penulis: Krisna Sumarga | Editor: Krisna Sumarga
DOKUMEN TRIBUN
Pasukan khusus Burkina Faso bersama Pasukan Khusus Prancis melaksanakan operasi pembebasan sandera di Hotel Splendid, di Ouagadougou, Burkina Faso, Afrika Barat,Sabtu (16/1/2016). Prancis menggelar Operasi Barkhane, perang melawan terorisme di Afrika. 

TRIBUNJOGJA.COM, TOULON - Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan berakhirnya Operasi Barkhane di benua Afrika.  

Perang kontraterorisme itu telah berlangsung delapan tahun, digelar pasukan Prancis di lima negara di Sahel Afrika.

"Saya telah memutuskan, dalam koordinasi dengan mitra kami, untuk meresmikan hari ini akhir dari operasi Barkhane," kata Macron dalam pidatonya di kapal induk Prancis Dixmude di Toulon, Rabu (9/11/2022) waktu setempat.

“Dukungan militer kami untuk negara-negara Afrika akan terus berlanjut, tetapi menurut prinsip-prinsip baru yang telah kami tetapkan dengan mereka,” katanya.

Baca juga: Pemimpin Al-Qaeda Afrika Utara, Abdelmalek Droukdel Tewas oleh Perancis dalam Sebuah Operasi di Mali

Baca juga: Prancis Akhiri Misi Tempur di Mali, Bekas Koloninya di Afrika

Baca juga: Detik-detik Milisi di Burkina Faso Bantai Warga, Datang Dini Hari Lalu Eksekusi di Rumah, 138 Tewas

Ia menambahkan keterlibatan Prancis Bersama mitra mereka di Afrika akan difokuskan pada logika kerja sama dan mengandalkan senjata mereka.

Barkhane dimulai pada Agustus 2014 sebagai perpanjangan dari Operasi Serval, diluncurkan hampir dua tahun sebelumnya setelah pemerintah Mali meminta bantuan Paris.

Bamako kesulitan menghadapi kelompok pemberontak Tuareg di utara yang bersekutu dengan anasir-anasir ISIS atau Daesh.

Di bawah Barkhane, misi itu diperluas ke empat negara lain - Burkina Faso, Niger, Chad, dan Mauritania.

Markas besar operasi dipindahkan ke N'Djamena, Chad. Pada puncaknya, misi tersebut melibatkan 5.500 tentara Prancis, ditambah pasukan lokal.

Kudeta di Mali pada 2021 mempercepat Operasi Barkhane, setelah pemerintah Macron mengakhiri kerja sama dengan pemerintah militer kudeta di Bamako.

Namun, pada saat itu perang telah menjadi sangat tidak populer baik di Afrika maupun di Prancis, peperangan berubah jadi pembantaian rakyat sipil ketimbang menargetkan jihadis.

Operasi paralel lainnya, Satuan Tugas Takuba, diumumkan pada 2020 untuk fokus pada wilayah tiga negara bagian antara Burkina Faso, Niger, dan Mali.

Takuba untuk sementara waktu dianggap sebagai penerus Barkhane. Tapi Mali menuntut semua pasukan Prancis meninggalkan negara itu pada awal 2022.

Takuba juga secara resmi berakhir pada Agustus itu. Namun, ukuran dan lingkup sekitar 3.000 pasukan Prancis di Burkina Faso, Niger, dan Chad tidak berubah.

Kehadiran pasukan Prancis telah diprotes secara luas di Burkina Faso dan Niger. Presiden Chad, Mahamat Idriss Déby Itno, baru-baru ini juga mengecam Paris.

Ia menuduh Paris mendukung demonstrasi besar-besaran menentang pemerintahannya.

Prancis pernah menjadi penguasa kolonial dari kelima negara, yang memenangkan kemerdekaan pada awal 1960-an.

Saat itu Kekaisaran Prancis menghadapi kekalahan serius di Vietnam, Aljazair, dan Sinai. Namun, ia tetap menjadi kekuatan dominan di banyak politik dan ekonomi bekas jajahannya.

 

Perkembangan lain menyangkut militer Prancis, Menteri Pertahanan Sebastian Lecornu menyatakan Prancis modern tidak dibentuk dengan persyaratan untuk ambil bagian dalam operasi militer skala besar.

Sejak lama mereka kekurangan dana. "Bahkan tentara kita hari ini tidak dapat berpartisipasi dalam konflik 'intensitas tinggi,” kata Lecornu.

Ia menjelaskan hal itu terjadi pascapembubaran Pakta Warsawa. Pemerintah Prancis tidak membentuk tentaranya berpartisipasi dalam operasi militer skala besar.

Alasan kedua, penurunan signifikan dalam jumlah pendanaan atau anggaran militer dan pasukan  nasional Prancis.

Pada Selasa lalu, Jenderal Pierre de Villiers, mantan Kepala Staf Pertahanan Prancis, juga mengatakan tentara Prancis tidak mampu melakukan perang intensitas tinggi hari ini.

Dia menambahkan tentara membutuhkan anggaran yang jauh lebih besar untuk memodernisasi senjata dan peralatan, menimbun amunisi, dan meningkatkan kemampuan logistic.

Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan, pemerintah akan mendiskusikan strategi militer baru enam bulan setelah konsultasi dengan parlemen.(Tribunjogja.com/Sputniknews/xna)

 

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved