Big Data Melimpah, Pakar Informatika UII: Jangan Terjebak pada Sisi Gelapnya

Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD, Pakar Bidang Sistem dan Teknologi Informasi Universitas Islam Indonesia (UII) mengajak data scientist untuk tidak

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Kurniatul Hidayah
Istimewa
Pakar bidang Sistem Teknologi Informasi UII, Prof Fathul Wahid dalam Seminar Nasional dan Statistika Ria dan Festival Sains Data (Satria Data) 2022 secara virtual, Sabtu (15/10/2022) 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Zaman serba teknologi ini, big data tentang apapun bisa saja terkumpulkan.

Maka, Prof Fathul Wahid ST, MSc, PhD, Pakar Bidang Sistem dan Teknologi Informasi Universitas Islam Indonesia (UII) mengajak data scientist untuk tidak terjebak sisi gelap dari keberlimpahan big data.

“Data scientist itu harus memegang teguh nilai abadi, yakni keadilan, kejujuran, dan kesetaraan saat mengolah big data. Sebab, dalam Big Data banyak sekali sisi gelapnya sehingga sering kali data scientist tidak menyadari terjebak pada sisi gelap tesebut,” ujarnya dalam Seminar Nasional dan Statistika Ria dan Festival Sains Data (Satria Data) 2022 secara virtual, Sabtu (15/10/2022). 

Baca juga: UNY Terjunkan Tim Garuda di Kompetisi Ontrack Shell Eco Marathon 2022

Acara yang mengangkat tema 'Genggam Data Kuasa Dunia Menuju Era Otomatisasi' ini diselenggarakan Program Studi Statistika, Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UII.

Prof Fathul Wahid yang juga Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) mengemukakan sisi gelap dari big data itu adalah adanya eksploitasi manusia atas manusia lain.

“Ini yang disebut oleh Shoshana Zuboff seorang Profesor dari Harvard University, dengan Surveillance Capitalisme atau Kapitalisme Pengintaian," kata Fathul Wahid.

Kapitalisme pengintaian, jelas Fathul Wahid, manusia diintai dengan segala aktivitasnya, mulai aplikasi, sosial media oleh situs-situs yang digunakan. 

Ujung pengintaian adalah manipulasi opini dan penggiringan perilaku orang yang diintai.

Seperti bagaimana misalnya playlist aplikasi bisa mendeteksi perasaan yang sedang dihadapi oleh pendengar.

Menurut Fathul, hal ini menjadi menarik karena tanpa sadar, algoritma menjalankan seseorang, algoritma yang membuat seseorang tidak sadar atas pilihan-pilihan yang dianggapnya rasional, padahal tidak rasional. 

"Karena algoritma sudah didesain dengan beragam cara, termasuk menggunakan new sains, psikologi dan lain-lain. Karena itu, saya mengajak bagaimana nilai kita suntikan saat mengolah big data," katanya.

Ia kemudian merinci, penggiringan perilaku seseorang sering diwujudkan dalam kampanye politik.

Baca juga: Sebanyak 41 Peserta Panwaslu Kecamatan Purworejo Tidak Hadir Tes CAT

“Ini bukan isapan jempol saja. Menggunakan big data, kesadaran konstituten bisa dimainkan. Misalnya, studi dari Universitas Oxford Inggris, menemukan bahwa tahun 2020, aktivitas pasukan cyber di ruang maya, telah berlangsung di 70 negara," kata Fathul.

Lebih lanjut, proses penggiringan ini, kata dia, tidak hanya melibatkan manusia.

Robot politik juga ikut andil untuk menggiring opini. Artinya, penggelontoran data dan otomatisasi ini mulai menjadi wajah politik di banyak negara, termasuk Indonesia.

“Ini kemudian jadi pertanyaan soal nilai kan. Kita bisa melakukan perlawanan dari sisi gelap maha data agar tidak terjebak di dalamnya. Kalau tidak dilawan, jadinya eksploitasi manusia atas manusia lain,” tukas dia. (Ard)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved