Berita DI Yogyakarta Hari Ini
Rifka Annisa Fokus Pemulihan Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual
Mayoritas korban kekerasan seksual terjadi kepada perempuan dan pelaku kekerasan seksual dilakukan oleh laki-laki.
Penulis: Neti Istimewa Rukmana | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Satu di antara hal yang menjadi fokus bagi Rifka Annisa untuk pemulihan hak-hak perempuan korban kekerasan seksual yakni mengimbangi dengan upaya pencegahan kekerasan seksual yang akan terjadi pada kemudian hari.
Melalui Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang disahkan menjadi Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 12 April 2022, di mana salah satu substansi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual tersebut bertujuan untuk melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku, yang tercantum dalam BAB II Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasal 17.
Intervensi bagi pelaku ini sebagai upaya pemenuhan hak korban agar adanya jaminan ketidak berulangan kasus yang serupa.
Di mana pelaku mengakui penuh kekerasan yang dilakukan serta menerima segala konsekuensi atas perilaku kekerasannya dengan mengikuti program intervensi dan menunjukkan perubahan sikap dan perilaku.
Baca juga: Hingga Juni 2022, Ada 31 Kasus Kekerasan Terhadap Anak dan 13 Kekerasan Perempuan di Kulon Progo
Counseling Assosiate Member Rifka Annisa sekaligus Dosen Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Aditya Putra Kurniawan, mengatakan tujuan intervensi pelaku kekerasan terbagi menjadi tiga.
"Yang pertama tujuannya adalah agar pelaku itu mengakui penuh kekerasan yang dilakukan. Artinya pelaku itu menyadari bahwa dia sedang melakukan. Karena, umumnya pelaku yang kami tangani itu cenderung tidak mengakui atau paling tidak dia menyalahkan korban atau menyalahkan hal-hal yang berada di luar dirinya," katanya, saat diskusi Intervensi Bagi Pelaku Kekerasan Seksual berlangsung secara daring, Selasa (9/8/2022).
Tujuan kedua ialah menerima segala konsekuensi atas perilaku kekerasan dari pelaku, di mana hal itu akan berlangsung ketika pelaku sudah mengakui penuh kekerasan yang dilakukannya.
Konsekuensi yang ada nantinya bisa berupa menerima hukuman atau hal-hal yang lainnya.
Tujuannya ketiga yakni pelaku akan didorong untuk mengikuti program intervensi dan menunjukkan perubahan sikap dan perilaku, baik itu berupa pemberian konseling, psikoterapi, atau rehabilitasi yang lain.
Pihaknya turut menyebutkan karakteristik klien pelaku kekerasan berdasarkan kasus-kasus yang pernah ditangani olehnya.
"Biasanya mereka (pelaku kekerasan seksual) tipe orang yang sangat resisten di hadapan konselor. Artinya, resisten itu enggan bekerja sama, meremehkan infromasi dengan konselor. Bahkan ada yang diam, tidak terbuka, menutup diri, manipulatif atau mau koorporatif di hadapan konselor. Biasanya hal itu dilakukan demi menghindari sanksi yang lebih berat," imbuhnya.
Pelaku terkadang bertahan dengan keyakinan dan pola pikirnya sendiri/defensif, berdebat dengan konselor, hingga menguji kemampuan konselor.
Dosen Hukum Universitas Tidar, Triantono, turut memaparkan, berdasarkan fakta filosifis, sebenarnya setiap orang berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari kekerasan termasuk juga di depan hukum.
"Kemudian ada juga beberapa faktor sosiologis tentang data-data kekerasan seksual yang mana setiap tahunnya semakin meningkat. Bahkan pada tahun-tahun terakhir (sebelum disahkannya UU TPKS) Indonesia sudah di nobatkan dalam konteks kekerasan seksual yang sangat tinggi," terangnya.
Pada 2020, Komnas Perempuan juga melaporkan terjadinya peningkatan cyber seksual dari 97 menjadi 281 kasus.